DI ANTARA kemudahan yang sangat dianjurkan ialah mengakui kondisi darurat yang muncul dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat individual maupun sosial. Syariat agama ini telah menetapkan hukum yang khusus untuk menghadapi kondisi darurat; yang membolehkan kita melakukan sesuatu yang biasanya dilarang dalam kondisi biasa; dalam hal makanan, minuman, pakaian, perjanjian, dan muamalah. Lebih daripada itu, syariat agama kita juga menurunkan ketetapan hukum dalam kasus tertentu dan pada masa-masa tertentu --yang berlaku bagi orang khusus maupun orang awam-- yang sama dengan hukum darurat, demi memudahkan umat dan untuk menghindarkan mereka dari kesulitan.
Yang menjadi dasar bagi hal itu ialah penjelasan yang terdapat di dalam al-Qur'an setelah menyebutkan tentang makanan yang diharamkan pada empat tempat di dalam al-Qur'an, yang menyatakan bahwa tidak berdosa orang-orang yang dalam keadaan terpaksa untuk memakan makanan tersebut:
"... tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Selain itu, terdapat juga penjelasan dari sunnah Nabi saw yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum lelaki setelah beliau mengharamkannya untuk mereka. Yaitu riwayat yang mengatakan bahwasanya Abdurrahman bin 'Auf dan Zubair bin 'Awwam sama-sama mengadukan hal mereka kepada Nabi saw bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk memakai pakaian terbuat dari sutera karena adanya kasus tersebut.
MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN TEMPAT
PENGAMBILAN tindakan yang mudah juga dianjurkan dalam hal berikut ini. Pentingnya pengetahuan tentang perubahan kondisi manusia, baik yang terjadi karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnya; berdasarkan petunjuk para sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh para khulafa rasyidin, suri tauladan yang kita disuruh untuk mengambil petunjuk dari 'sunnah' mereka dan berpegang teguh kepadanya. Yaitu sunnah yang sesuai dengan sunnah Nabi saw dan dapat diterima oleh al-Qur'an; sebagaimana yang pernah kami jelaskan dalam risalah kecil kami yang berjudul 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Faktor-faktor Keluasan dan Keluwesan dalam Syariat Islam).
Itulah yang antara lain yang mengharuskan kita untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat para ulama terdahulu. Karena boleh jadi, pandangan tersebut hanya sesuai untuk zaman dan kondisi pada masa itu, dan tidak sesuai lagi untuk zaman kita sekarang ini yang telah mengalami pelbagai pembaruan yang belum pernah terpikirkan oleh generasi terdahulu. Pendapat dan pandangan ulama terdahulu itu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik kepada Islam dan umat Islam, serta menjadi halangan bagi da'wah Islam.
Misalnya, pendapat mengenai pembagian dunia kepada Dar Islam dan Dar Harb. Yaitu suatu konsep yang pada dasarnya menganggap hubungan kaum Muslimin dengan orang bukan Muslim adalah peperangan, dan sesungguhnya perjuangan itu hukumnya fardhu kifayat atas umat... dan lain-lain.
Pada kenyataannya, sebetulnya pendapat-pendapat seperti itu tidak sesuai untuk zaman kita sekarang ini, di samping tidak ada nash hukum Islam yang mendukung terhadap pendapat tersebut; bahkan yang ada adalah nash-nash yang menentangnya.
Islam sangat menganjurkan perkenalan sesama manusia, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, secara menyeluruh:
"... dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..." (al-Hujurat: 13)
Islam juga menganggap perdamaian dan pencegahan terhadap terjadinya peperangan sebagai suatu kenikmatan. Setelah terjadinya Perang Khandaq, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejenglelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan..." (al-Ahzab: 25)
Al-Qur'an menganggap Perjanjian Hudaibiyah sebagai kemenangan yang nyata yang diberikan kepada Rasulullah saw; dan pada masa yang sama turun surat al-Fath:
"Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (al-Fath: 1)
Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw dan kaum Muslimin juga diberi anugerah berupa batalnya peperangan antara kedua belah pihak; di mana Allah SWT berfirman:
"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka..." (al-Fath: 24)
Rasulullah saw sendiri berusaha untuk tidak mengucapkan perkataan "perang," sampai beliau bersabda, "Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb (perang) dan Murrah (pahit)."
Peperangan yang disyariatkan oleh Islam pada zaman-zaman dahulu memiliki suatu tujuan yang jelas. Yaitu, menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan da'wah. Para penguasa dan raja-raja pada masa itu membuat penghalang yang sulit ditembus oleh da'wah Islam kepada bangsa mereka. Dan oleh karena itu Rasulullah saw mengirimkan surat-suratnya kepada mereka untuk mengajak mereka masuk Islam, dan menimpakan dosa serta tanggung jawab kesesatan umat mereka di pundak mereka, karena mereka sengaja menghalangi bangsa mereka untuk mendengarkan segala suara dari luar, karena raja-raja itu khawatir bahwa suara itu akan membangunkan keterlenaan mereka, membangkitkan hati nurani mereka, sehingga mereka terjaga dari tidur panjang mereka, kemudian memberontak terhadap kezaliman yang dilakukan oleh raja-raja mereka. Oleh karena itu, kita menemukan para raja itu membunuh para juru da'wah, atau segera memerangi kaum Muslimin, menghalangi dan mengacaukan kehidupan mereka yang tenang.
Pada saat ini, tidak ada lagi halangan bagi kita untuk melakukan da'wah, khususnya di negara-negara yang terbuka yang menganut aliran pluralisme. Kaum Muslimin dapat menyampaikan da'wah mereka melalui tulisan, suara, dan juga gambar. Mereka dapat menyampaikan da'wah melalui radio yang gelombangnya dipancarkan ke seluruh dunia. Mereka dapat berbicara kepada semua bangsa dengan bahasa kaum itu agar ajaran yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
Akan tetapi, banyak sekali para juru da'wah yang mengabaikan sama sekali kesempatan dan potensi ini; padahal mereka nanti akan diminta pertanggungan jawabnya di depan Allah SWT karena mengabaikannya, dan dimintai tanggungjawab mengenai ketidaktahuan penghuni bumi ini terhadap Islam.
MENJAGA SUNNAH PENTAHAPAN (MARHALAH) DALAM DA'WAH
<< Kembali ke Daftar Isi >>
DALAM melakukan pengambilan tindakan yang mudah juga sangat dianjurkan untuk menjaga sunnah pentahapan dalam melakukan da'wah, sebagaimana yang berlaku dalam sunnatullah pada makhluk-Nya dan pada perintah-Nya; dan juga yang berlaku di dalam penetapan hukum Islam yang berkaitan dengan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lainnya, serta pengharaman hal-hal yang diharamkan.
Contoh paling jelas yang kita ketahui bersama ialah pengharaman khamar, yang penetapan hukumnya dilakukan secara bertahap.
Ada kemungkinan bahwa karena ada pentahapan yang berlaku di dalam penetapan hukum tersebut, maka Islam tetap melanjutkan "sistem perbudakan" yang tidak dihapuskan sama sekali, sebab bila sistem yang berlaku di seluruh dunia pada masa kemunculan Islam dihilangkan sama sekali, maka akan mengguncangkan kehidupan sosial dan ekonomi. Dan oleh karena itu, Islam mempersempit ruang gerak sistem ini, dan menyingkirkan segala hal yang dapat menimbulkannya sejauh mungkin. tindakan seperti ini dapat dikatakan sebagai penghapusan sistem perbudakan secara bertahap.
Sunnah Ilahi berupa pentahapan ini harus kita ikuti dalam mendidik manusia ketika kita hendak menerapkan sistem Islam dalam kehidupan manusia pada zaman ini, setelah berakhirnya periode perang pendidikan, syariat, dan sosial dalam kehidupan Islam.
Kalau kita hendak mendirikan "masyarakat Islam yang hakiki", maka kita jangan berangan-angan bahwa hal itu akan dapat terwujud hanya dengan tulisan, atau dikeluarkannya keputusan dari seorang raja, presiden, atau ketetapan dewan perwakilan rakyat (parlemen)...
Pendirian masyarakat Islam akan terwujud melalui usaha secara bertahap; yakni dengan mempersiapkan rancangan pemõkiran, kejiwaan, moralitas, dan masyarakat itu sendiri, serta menciptakan hukum alternatif sebagai ganti hukum lama yang berlaku pada kondisi tidak benar yang telah berlangsung lama.
Pentahapan ini tidak berarti hanya sekadar mengulur-ulur dan menunda pelaksanaannya, serta mempergunakan pentahapan sebagai 'racun' untuk mematikan pemikiran masyarakat yang terus-menerus hendak menjalankan hukum Allah dan menerapkan syariat-Nya; tetapi pentahapan di sini ialah penetapan tujuan, pembuatan perencanaan, dan periodisasi, dengan penuh kesadaran dan kejujuran; di mana setiap periode merupakan landasan bagi periode berikutnya secara terencana dan teratur, sehingga perjalanan itu dapat sampai kepada tujuan akhirnya... yaitu berdirinya masyarakat Islam yang menyeluruh.
Begitulah metode yang dilakukan oleh Nabi saw untuk mengubah kehidupan masyarakat Jahiliyah kepada kehidupan masyarakat Islam, sebagaimana yang telah kita jelaskan pada bab sebelumnya.
Di antara tindakan seperti itu dan telah menampakkan hasilnya ialah apa yang diriwayatkan oleh para ahli sejarah tentang kehidupan Umar bin Abd al-Aziz, yang oleh ulama kaum Muslimin dikatakan sebagai "khalifah rasyidin yang kelima," atau Umar kedua, karena dia meniti jalan yang pernah diterapkan oleh datuknya, al-Faruq Umar bin Khattab; bahwasanya anaknya, Abd al-Malik --yang pada saat itu masih muda, bertakwa, dan memiliki semangat yang menggelora-- berkata kepada ayahnya: "Wahai ayah, mengapa berbagai hal tidak engkau laksanakan secara langsung? Demi Allah, aku tidak perduli bila periuk mendidih yang dipersiapkan untukku dan untukmu dalam melakukan kebenaran."
Pemuda penuh gairah ini menginginkan ayahnya --yang telah diangkat oleh Allah SWT untuk memimpin kaum Muslimin-- agar menyingkirkan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan, dan penyimpangan sekaligus, tanpa harus menunggu-nunggu lagi; kemudian tinggal menunggu apa yang terjadi.
Akan tetapi ayahnya yang bijak menjawab pertanyaan anakya: "Jangan tergesa-gesa wahai anakku, karena sesungguhnya Allah SWT mencela khamar dalam al-Qur'an sebanyak dua kali, kemudian mengharamkannya pada kali yang ketiga. Dan sesungguhnya aku khawatir bila aku membawa kebenaran atas manusia secara sekaligus, maka mereka juga akan meninggalkannya secara sekaligus. Kemudian tercipta orang-orang yang memiliki fitnah." 16
Khalifah yang bijak ingin menyelesaikan pelbagai persoalan umat manusia dengan bijak dan bertahap, berdasarkan petunjuk sunnah Allah SWT ketika Dia mengharamkan khamar. Dia menurunkan kebenaran sedikit demi sedikit, kemudian membawa jalan hidup kepada mereka selangkah demi selangkah... Dan memang beginilah fiqh yang sahih. 17
Catatan kaki:
16 Lihat al-syathibi, al-Muwafaqat. 2:94 ^
17 Lihat buku kami, Madkhal li Dirasah al-Syari'ah al-Islamiyyah, bab al-Waqi'iyyah, h. 120-121. ^
:: bookmark: pakdenono ::
MELURUSKAN BUDAYA KAUM MUSLIMIN
<< Kembali ke Daftar Isi >>
YANG terpenting dan yang lazim pada hari ini dalam mendidik dan membekali pemahaman ajaran agama terhadap kaum Muslimin ialah memberikan pengetahuan kepada mereka apa yang patut mereka kerjakan terlebih dahulu dan apa yang mesti mereka akhirkan; serta apa yang seharusnya disingkirkan dari budaya kaum Muslimin.
Di lembaga-lembaga pendidikan agama, universitas dan fakultas-fakultas keagamaan, banyak sekali pelajaran yang menghabiskan tenaga dan waktu para pelajar untuk melakukankajian terhadap hal itu. Padahal separuh atau seperempat waktu yang dipergunakan untuk itu sebetulnya dapat mereka pergunakan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi agama dan dunia mereka.
Saya dapat menyebutkan, misalnya pada fakultas Usuluddin, kita mengkaji kitab al-Mawaqif karangan al-Iji, berikut syarah-nya yang ditulis oleh al-Jurjani beberapa paragraf --dan bukan beberapa bab-- yang berkaitan dengan al-thabi'iyyat dalam buku itu; atau bab al-Muqaddimat. Dalam kasus ini kita sangat lamban memahami dan mencerna kandungan buku itu, dan guru kita juga lamban dalam memberikan penjelasan dan pemecahan hal-hal yang rumit dan mengungkapkan muatan maknanya.
Misalnya waktu itu kita pergunakan untuk mengikuti perkembangan aliran filsafat modern dan memberikan tanggapannya yang ilmiah dan obyektif, atau mengikuti sumber rujukan dasar dan syarah para imam besar, atau menggali pemikiran dan pemahaman yang orisinal dalam kajian pembaruan di dalam Islam, maka insya Allah banyak kebaikan dan manfaat yang kita peroleh darinya.
Masih banyak lagi kelemahan yang terjadi dalam lembaga-lembaga dan institusi pendidikan tersebut; karena di sana masih ada kelebihan waktu yang dipergunakan untuk mengkaji suatu materi tertentu, sedangkan materi yang lain tidak mendapatkan waktu untuk dikaji.
Sebetulnya "ilmu kalam" yang dipelajari mengikuti metodologi yang kuno sangat memerlukan sentuhan pembaruan, agar dia dapat menyampaikan pesan al-Qur'an kepada fitrah manusia, serta akal dan hati mereka secara bersamaan. Sepatutnya dia sudah tidak lagi memakai metodologi filsafat Yunani; di mana Imam Ibn al-Wazir pernah menulis sebuah buku yang sangat berharga dengan judul Tarjih Asalib al-Qur'an ala Asalib al-Yunan.
Ilmu kalam perlu juga diasah dengan ilmu dan peradaban modern, berikut bukti-bukti dan tanda-tanda kebesaran Tuhan yang ada di alam semesta ini, untuk memperkuat keimanan, dan mengikis kemusyrikan; sebagaimana buku-buku yang sangat terkenal dan telah ditulis dalam bidang ini; seperti buku: al-'Ilm Yad'u ila al-Iman (Ilmu Pengetahuan Mendorong kepada Keimanan); Allah Yatajalla fi 'Ashr al-'Ilm (Allah Menjelma di Era Ilmu Pengetahuan); Ma'a Allah fi al-Sama' (Bersama Allah di langit); Allah wa al-'Ilm al-Hadits (Allah dan Ilmu Pengetahuan Modern), dan lain-lain.
Ilmu fiqh sudah masanya dipermudah bagi umat manusia, dengan penampilan yang baru, dengan penekanan terhadap kepentingan manusia pada abad ini; yang mencakup pembahasan tentang perseroan, transaksi, perbankan, perjanjian-perjanjian modern, hubungan internasional, dan penerjemahan ukuran nilai mata uang, takaran, timbangan, ukuran panjang yang lama kepada bahasa modern.
Di samping itu, kita mesti memperhatikan peradaban yang hendak kita berikan kepada kaum Muslimin, dan pentingnya menciptakanvariasi terhadap peradaban tersebut. Dan harus dibedakan peradaban yang diberikan kepada orang yang terdidik dan masyarakat awam yang terdiri atas para buruh, petani, dan lain-lain.
Kebanyakan para juru da'wah dan para guru --serta kebanyakan para penulis-- hanya mengisi otak masyarakat dengan pemikiran dan pengetahuan agama yang diulang-ulang, dan dihafal, yang tidak didukung dengan dalil yang diturunkan oleh Allah SWT serta dalil-dalil hukum agama. Mereka hanya menyampaikan tafsir Israiliyat, dan hadis-hadis lemah dan maudhu, yang tidak ada sumbernya.
Misalnya pembicaraan mengenai "Hakikat dan Syariah"; "Hakikat Muhammad" atau sesungguhnya Nabi adalah makhluk Allah yang pertama kali; atau pembahasan yang berlebihan di seputar dunia "Para Wali", "Keramat": yang tidak didasari dengan dalil dari ajaran agama, dan bukti ilmiah, serta logika yang benar.
Perbuatan yang serupa dengan ini ialah kesibukan orang-orang terhadap masalah-masalah khilafiyah antara satu mazhab dengan mazhab yang lain; atau menyulut pertarungan bersama gerakan tasawuf, atau pelbagai kelompok tasawuf, dengan berbagai persoalannya yang termasuk sunnah dan bid'ah, yang betul dan yang menyimpang. Kita mesti membuat prioritas terhadap masalah ini dan tidak boleh membuat generalisasi dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.
UKURAN YANG BENAR:
PERHATIAN TERHADAP ISU-ISU YANG DISOROT OLEH AL-QUR'AN
<< Kembali ke Daftar Isi >>
DI ANTARA ukuran yang perlu kita rujuk kembali dalam menjelaskan apa yang paling benar untuk kita perhatikan dan dahulukan ialah perhatian terhadap isu-isu yang diperhatikan oleh al-Qur'an .
Kita selayaknya mengetahui apa yang sangat dipedulikan oleh al-Qur'an dan sering diulang-ulang di dalam surat dan ayat-ayatnya, dan apa pula yang ditegaskan dalam perintah dan larangannya, janji dan ancamannya. Itulah yang harus diprioritaskan, didahulukan, dan diberi perhatian oleh pemikiran, tingkah laku, penilaian, dan penghargaan kita.
Yaitu seperti keimanan kepada Allah SWT, kepada para nabi-Nya, hari akhirat, pahala dan siksaan, surga dan neraka.
Contoh lainnya yaitu pokok-pokok ibadah dan syiar-syiarnya, mendirikan shalat dan membayar zakat, puasa, haji, zikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, istighfar, tobat, tawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat dan takut terhadap azab-Nya, syukur kepada nikmat-nikmat-Nya, bersabar terhadap cobaan-Nya, dan ibadah-ibadah batiniah, serta maqam-maqam ketuhanan yang tinggi.
Dan juga pokok-pokok keutamaan, akhlak yang mulia, sifat-sifat yang baik, kejujuran, kebenaran, kesederhanaan, ketulusan, kelembutan, rasa malu, rendah hati, pemurah, rendah hati terhadap orang-orang yang beriman dan berbesar hati menghadapi orang kafir, mengasihi orang yang lemah, berbuat baik terhadap kedua orangtua, silaturahim, menghormati tetangga, memelihara orang miskin, anak yatim dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kita juga perlu mengetahui isu-isu yang tidak begitu diberi perhatian oleh Islam kecuali sangat sedikit, misalnya masalah Isra' Nabi saw. Al-Qur'an hanya membicarakannya dalam satu ayat saja, berbeda dengan peperangan yang dibicarakan oleh al-Qur'an di dalam satu surat penuh.
Adapun maulid (istilah yang benar adalah milad) Rasul saw sama sekali tidak dibicarakan oleh al-Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat; sebagaimana keterkaitan kelahiran al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Itulah sebenarnya ukuran yang benar, karena sesungguhnya al-Qur'an merupakan tiang agama, landasan dan sumber Islam; dengan sunnah Nabi saw yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan dan keterangannya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya al-Qu'ran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal salih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar." (al-Isra,:9)
"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (al-Ma'idah: 15-16)
"... Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri." (an-Nahl: 89)
Artinya, sesungguhnya al-Qur'an memberikan penjelasan mengenai pokok ajaran agama yang kokoh. Tidak ada satu pokok ajaran agama yang sifatnya sangat umum dan diperlukan oleh kehidupan Islam kecuali pokok ajaran ini telah ditanamkan kuat oleh al-Qur'an, baik secara langsung maupun tidak. Khalifah kita yang pertama pernah berkata, "Kalau aku kehilangan 'kendali unta' maka aku dapat menemukannya di dalam kitab Allah."
Yang menjadi dasar bagi hal itu ialah penjelasan yang terdapat di dalam al-Qur'an setelah menyebutkan tentang makanan yang diharamkan pada empat tempat di dalam al-Qur'an, yang menyatakan bahwa tidak berdosa orang-orang yang dalam keadaan terpaksa untuk memakan makanan tersebut:
"... tetapi barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Selain itu, terdapat juga penjelasan dari sunnah Nabi saw yang memperbolehkan penggunaan sutera bagi kaum lelaki setelah beliau mengharamkannya untuk mereka. Yaitu riwayat yang mengatakan bahwasanya Abdurrahman bin 'Auf dan Zubair bin 'Awwam sama-sama mengadukan hal mereka kepada Nabi saw bahwa mereka terserang penyakit gatal, kemudian Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk memakai pakaian terbuat dari sutera karena adanya kasus tersebut.
MENGUBAH FATWA KARENA PERUBAHAN WAKTU DAN TEMPAT
PENGAMBILAN tindakan yang mudah juga dianjurkan dalam hal berikut ini. Pentingnya pengetahuan tentang perubahan kondisi manusia, baik yang terjadi karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun terjadinya hal-hal yang sifatnya darurat, sehingga para ahli fiqh yang biasanya mengeluarkan fatwa harus mengubah fatwa yang telah lalu untuk disesuaikan dengan perubahan zaman, tempat, tradisi dan kondisi masyarakatnya; berdasarkan petunjuk para sahabat dan apa yang pernah dilakukan oleh para khulafa rasyidin, suri tauladan yang kita disuruh untuk mengambil petunjuk dari 'sunnah' mereka dan berpegang teguh kepadanya. Yaitu sunnah yang sesuai dengan sunnah Nabi saw dan dapat diterima oleh al-Qur'an; sebagaimana yang pernah kami jelaskan dalam risalah kecil kami yang berjudul 'Awamil al-Sa'ah wa al-Murunah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah (Faktor-faktor Keluasan dan Keluwesan dalam Syariat Islam).
Itulah yang antara lain yang mengharuskan kita untuk melakukan peninjauan kembali terhadap pandangan dan pendapat para ulama terdahulu. Karena boleh jadi, pandangan tersebut hanya sesuai untuk zaman dan kondisi pada masa itu, dan tidak sesuai lagi untuk zaman kita sekarang ini yang telah mengalami pelbagai pembaruan yang belum pernah terpikirkan oleh generasi terdahulu. Pendapat dan pandangan ulama terdahulu itu bisa jadi membawa kondisi yang tidak baik kepada Islam dan umat Islam, serta menjadi halangan bagi da'wah Islam.
Misalnya, pendapat mengenai pembagian dunia kepada Dar Islam dan Dar Harb. Yaitu suatu konsep yang pada dasarnya menganggap hubungan kaum Muslimin dengan orang bukan Muslim adalah peperangan, dan sesungguhnya perjuangan itu hukumnya fardhu kifayat atas umat... dan lain-lain.
Pada kenyataannya, sebetulnya pendapat-pendapat seperti itu tidak sesuai untuk zaman kita sekarang ini, di samping tidak ada nash hukum Islam yang mendukung terhadap pendapat tersebut; bahkan yang ada adalah nash-nash yang menentangnya.
Islam sangat menganjurkan perkenalan sesama manusia, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, secara menyeluruh:
"... dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal..." (al-Hujurat: 13)
Islam juga menganggap perdamaian dan pencegahan terhadap terjadinya peperangan sebagai suatu kenikmatan. Setelah terjadinya Perang Khandaq, Allah SWT berfirman:
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejenglelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan..." (al-Ahzab: 25)
Al-Qur'an menganggap Perjanjian Hudaibiyah sebagai kemenangan yang nyata yang diberikan kepada Rasulullah saw; dan pada masa yang sama turun surat al-Fath:
"Sesunggguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata." (al-Fath: 1)
Dalam surat ini juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw dan kaum Muslimin juga diberi anugerah berupa batalnya peperangan antara kedua belah pihak; di mana Allah SWT berfirman:
"Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Makkah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka..." (al-Fath: 24)
Rasulullah saw sendiri berusaha untuk tidak mengucapkan perkataan "perang," sampai beliau bersabda, "Nama yang paling jujur adalah Harits dan Hammam, sedangkan nama yang paling buruk ialah Harb (perang) dan Murrah (pahit)."
Peperangan yang disyariatkan oleh Islam pada zaman-zaman dahulu memiliki suatu tujuan yang jelas. Yaitu, menyingkirkan penghalang yang bersifat material di tengah jalan da'wah. Para penguasa dan raja-raja pada masa itu membuat penghalang yang sulit ditembus oleh da'wah Islam kepada bangsa mereka. Dan oleh karena itu Rasulullah saw mengirimkan surat-suratnya kepada mereka untuk mengajak mereka masuk Islam, dan menimpakan dosa serta tanggung jawab kesesatan umat mereka di pundak mereka, karena mereka sengaja menghalangi bangsa mereka untuk mendengarkan segala suara dari luar, karena raja-raja itu khawatir bahwa suara itu akan membangunkan keterlenaan mereka, membangkitkan hati nurani mereka, sehingga mereka terjaga dari tidur panjang mereka, kemudian memberontak terhadap kezaliman yang dilakukan oleh raja-raja mereka. Oleh karena itu, kita menemukan para raja itu membunuh para juru da'wah, atau segera memerangi kaum Muslimin, menghalangi dan mengacaukan kehidupan mereka yang tenang.
Pada saat ini, tidak ada lagi halangan bagi kita untuk melakukan da'wah, khususnya di negara-negara yang terbuka yang menganut aliran pluralisme. Kaum Muslimin dapat menyampaikan da'wah mereka melalui tulisan, suara, dan juga gambar. Mereka dapat menyampaikan da'wah melalui radio yang gelombangnya dipancarkan ke seluruh dunia. Mereka dapat berbicara kepada semua bangsa dengan bahasa kaum itu agar ajaran yang disampaikan dapat diterima dengan jelas.
Akan tetapi, banyak sekali para juru da'wah yang mengabaikan sama sekali kesempatan dan potensi ini; padahal mereka nanti akan diminta pertanggungan jawabnya di depan Allah SWT karena mengabaikannya, dan dimintai tanggungjawab mengenai ketidaktahuan penghuni bumi ini terhadap Islam.
MENJAGA SUNNAH PENTAHAPAN (MARHALAH) DALAM DA'WAH
<< Kembali ke Daftar Isi >>
DALAM melakukan pengambilan tindakan yang mudah juga sangat dianjurkan untuk menjaga sunnah pentahapan dalam melakukan da'wah, sebagaimana yang berlaku dalam sunnatullah pada makhluk-Nya dan pada perintah-Nya; dan juga yang berlaku di dalam penetapan hukum Islam yang berkaitan dengan shalat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lainnya, serta pengharaman hal-hal yang diharamkan.
Contoh paling jelas yang kita ketahui bersama ialah pengharaman khamar, yang penetapan hukumnya dilakukan secara bertahap.
Ada kemungkinan bahwa karena ada pentahapan yang berlaku di dalam penetapan hukum tersebut, maka Islam tetap melanjutkan "sistem perbudakan" yang tidak dihapuskan sama sekali, sebab bila sistem yang berlaku di seluruh dunia pada masa kemunculan Islam dihilangkan sama sekali, maka akan mengguncangkan kehidupan sosial dan ekonomi. Dan oleh karena itu, Islam mempersempit ruang gerak sistem ini, dan menyingkirkan segala hal yang dapat menimbulkannya sejauh mungkin. tindakan seperti ini dapat dikatakan sebagai penghapusan sistem perbudakan secara bertahap.
Sunnah Ilahi berupa pentahapan ini harus kita ikuti dalam mendidik manusia ketika kita hendak menerapkan sistem Islam dalam kehidupan manusia pada zaman ini, setelah berakhirnya periode perang pendidikan, syariat, dan sosial dalam kehidupan Islam.
Kalau kita hendak mendirikan "masyarakat Islam yang hakiki", maka kita jangan berangan-angan bahwa hal itu akan dapat terwujud hanya dengan tulisan, atau dikeluarkannya keputusan dari seorang raja, presiden, atau ketetapan dewan perwakilan rakyat (parlemen)...
Pendirian masyarakat Islam akan terwujud melalui usaha secara bertahap; yakni dengan mempersiapkan rancangan pemõkiran, kejiwaan, moralitas, dan masyarakat itu sendiri, serta menciptakan hukum alternatif sebagai ganti hukum lama yang berlaku pada kondisi tidak benar yang telah berlangsung lama.
Pentahapan ini tidak berarti hanya sekadar mengulur-ulur dan menunda pelaksanaannya, serta mempergunakan pentahapan sebagai 'racun' untuk mematikan pemikiran masyarakat yang terus-menerus hendak menjalankan hukum Allah dan menerapkan syariat-Nya; tetapi pentahapan di sini ialah penetapan tujuan, pembuatan perencanaan, dan periodisasi, dengan penuh kesadaran dan kejujuran; di mana setiap periode merupakan landasan bagi periode berikutnya secara terencana dan teratur, sehingga perjalanan itu dapat sampai kepada tujuan akhirnya... yaitu berdirinya masyarakat Islam yang menyeluruh.
Begitulah metode yang dilakukan oleh Nabi saw untuk mengubah kehidupan masyarakat Jahiliyah kepada kehidupan masyarakat Islam, sebagaimana yang telah kita jelaskan pada bab sebelumnya.
Di antara tindakan seperti itu dan telah menampakkan hasilnya ialah apa yang diriwayatkan oleh para ahli sejarah tentang kehidupan Umar bin Abd al-Aziz, yang oleh ulama kaum Muslimin dikatakan sebagai "khalifah rasyidin yang kelima," atau Umar kedua, karena dia meniti jalan yang pernah diterapkan oleh datuknya, al-Faruq Umar bin Khattab; bahwasanya anaknya, Abd al-Malik --yang pada saat itu masih muda, bertakwa, dan memiliki semangat yang menggelora-- berkata kepada ayahnya: "Wahai ayah, mengapa berbagai hal tidak engkau laksanakan secara langsung? Demi Allah, aku tidak perduli bila periuk mendidih yang dipersiapkan untukku dan untukmu dalam melakukan kebenaran."
Pemuda penuh gairah ini menginginkan ayahnya --yang telah diangkat oleh Allah SWT untuk memimpin kaum Muslimin-- agar menyingkirkan berbagai bentuk kezaliman, kerusakan, dan penyimpangan sekaligus, tanpa harus menunggu-nunggu lagi; kemudian tinggal menunggu apa yang terjadi.
Akan tetapi ayahnya yang bijak menjawab pertanyaan anakya: "Jangan tergesa-gesa wahai anakku, karena sesungguhnya Allah SWT mencela khamar dalam al-Qur'an sebanyak dua kali, kemudian mengharamkannya pada kali yang ketiga. Dan sesungguhnya aku khawatir bila aku membawa kebenaran atas manusia secara sekaligus, maka mereka juga akan meninggalkannya secara sekaligus. Kemudian tercipta orang-orang yang memiliki fitnah." 16
Khalifah yang bijak ingin menyelesaikan pelbagai persoalan umat manusia dengan bijak dan bertahap, berdasarkan petunjuk sunnah Allah SWT ketika Dia mengharamkan khamar. Dia menurunkan kebenaran sedikit demi sedikit, kemudian membawa jalan hidup kepada mereka selangkah demi selangkah... Dan memang beginilah fiqh yang sahih. 17
Catatan kaki:
16 Lihat al-syathibi, al-Muwafaqat. 2:94 ^
17 Lihat buku kami, Madkhal li Dirasah al-Syari'ah al-Islamiyyah, bab al-Waqi'iyyah, h. 120-121. ^
:: bookmark: pakdenono ::
MELURUSKAN BUDAYA KAUM MUSLIMIN
<< Kembali ke Daftar Isi >>
YANG terpenting dan yang lazim pada hari ini dalam mendidik dan membekali pemahaman ajaran agama terhadap kaum Muslimin ialah memberikan pengetahuan kepada mereka apa yang patut mereka kerjakan terlebih dahulu dan apa yang mesti mereka akhirkan; serta apa yang seharusnya disingkirkan dari budaya kaum Muslimin.
Di lembaga-lembaga pendidikan agama, universitas dan fakultas-fakultas keagamaan, banyak sekali pelajaran yang menghabiskan tenaga dan waktu para pelajar untuk melakukankajian terhadap hal itu. Padahal separuh atau seperempat waktu yang dipergunakan untuk itu sebetulnya dapat mereka pergunakan untuk melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi agama dan dunia mereka.
Saya dapat menyebutkan, misalnya pada fakultas Usuluddin, kita mengkaji kitab al-Mawaqif karangan al-Iji, berikut syarah-nya yang ditulis oleh al-Jurjani beberapa paragraf --dan bukan beberapa bab-- yang berkaitan dengan al-thabi'iyyat dalam buku itu; atau bab al-Muqaddimat. Dalam kasus ini kita sangat lamban memahami dan mencerna kandungan buku itu, dan guru kita juga lamban dalam memberikan penjelasan dan pemecahan hal-hal yang rumit dan mengungkapkan muatan maknanya.
Misalnya waktu itu kita pergunakan untuk mengikuti perkembangan aliran filsafat modern dan memberikan tanggapannya yang ilmiah dan obyektif, atau mengikuti sumber rujukan dasar dan syarah para imam besar, atau menggali pemikiran dan pemahaman yang orisinal dalam kajian pembaruan di dalam Islam, maka insya Allah banyak kebaikan dan manfaat yang kita peroleh darinya.
Masih banyak lagi kelemahan yang terjadi dalam lembaga-lembaga dan institusi pendidikan tersebut; karena di sana masih ada kelebihan waktu yang dipergunakan untuk mengkaji suatu materi tertentu, sedangkan materi yang lain tidak mendapatkan waktu untuk dikaji.
Sebetulnya "ilmu kalam" yang dipelajari mengikuti metodologi yang kuno sangat memerlukan sentuhan pembaruan, agar dia dapat menyampaikan pesan al-Qur'an kepada fitrah manusia, serta akal dan hati mereka secara bersamaan. Sepatutnya dia sudah tidak lagi memakai metodologi filsafat Yunani; di mana Imam Ibn al-Wazir pernah menulis sebuah buku yang sangat berharga dengan judul Tarjih Asalib al-Qur'an ala Asalib al-Yunan.
Ilmu kalam perlu juga diasah dengan ilmu dan peradaban modern, berikut bukti-bukti dan tanda-tanda kebesaran Tuhan yang ada di alam semesta ini, untuk memperkuat keimanan, dan mengikis kemusyrikan; sebagaimana buku-buku yang sangat terkenal dan telah ditulis dalam bidang ini; seperti buku: al-'Ilm Yad'u ila al-Iman (Ilmu Pengetahuan Mendorong kepada Keimanan); Allah Yatajalla fi 'Ashr al-'Ilm (Allah Menjelma di Era Ilmu Pengetahuan); Ma'a Allah fi al-Sama' (Bersama Allah di langit); Allah wa al-'Ilm al-Hadits (Allah dan Ilmu Pengetahuan Modern), dan lain-lain.
Ilmu fiqh sudah masanya dipermudah bagi umat manusia, dengan penampilan yang baru, dengan penekanan terhadap kepentingan manusia pada abad ini; yang mencakup pembahasan tentang perseroan, transaksi, perbankan, perjanjian-perjanjian modern, hubungan internasional, dan penerjemahan ukuran nilai mata uang, takaran, timbangan, ukuran panjang yang lama kepada bahasa modern.
Di samping itu, kita mesti memperhatikan peradaban yang hendak kita berikan kepada kaum Muslimin, dan pentingnya menciptakanvariasi terhadap peradaban tersebut. Dan harus dibedakan peradaban yang diberikan kepada orang yang terdidik dan masyarakat awam yang terdiri atas para buruh, petani, dan lain-lain.
Kebanyakan para juru da'wah dan para guru --serta kebanyakan para penulis-- hanya mengisi otak masyarakat dengan pemikiran dan pengetahuan agama yang diulang-ulang, dan dihafal, yang tidak didukung dengan dalil yang diturunkan oleh Allah SWT serta dalil-dalil hukum agama. Mereka hanya menyampaikan tafsir Israiliyat, dan hadis-hadis lemah dan maudhu, yang tidak ada sumbernya.
Misalnya pembicaraan mengenai "Hakikat dan Syariah"; "Hakikat Muhammad" atau sesungguhnya Nabi adalah makhluk Allah yang pertama kali; atau pembahasan yang berlebihan di seputar dunia "Para Wali", "Keramat": yang tidak didasari dengan dalil dari ajaran agama, dan bukti ilmiah, serta logika yang benar.
Perbuatan yang serupa dengan ini ialah kesibukan orang-orang terhadap masalah-masalah khilafiyah antara satu mazhab dengan mazhab yang lain; atau menyulut pertarungan bersama gerakan tasawuf, atau pelbagai kelompok tasawuf, dengan berbagai persoalannya yang termasuk sunnah dan bid'ah, yang betul dan yang menyimpang. Kita mesti membuat prioritas terhadap masalah ini dan tidak boleh membuat generalisasi dalam hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut.
UKURAN YANG BENAR:
PERHATIAN TERHADAP ISU-ISU YANG DISOROT OLEH AL-QUR'AN
<< Kembali ke Daftar Isi >>
DI ANTARA ukuran yang perlu kita rujuk kembali dalam menjelaskan apa yang paling benar untuk kita perhatikan dan dahulukan ialah perhatian terhadap isu-isu yang diperhatikan oleh al-Qur'an .
Kita selayaknya mengetahui apa yang sangat dipedulikan oleh al-Qur'an dan sering diulang-ulang di dalam surat dan ayat-ayatnya, dan apa pula yang ditegaskan dalam perintah dan larangannya, janji dan ancamannya. Itulah yang harus diprioritaskan, didahulukan, dan diberi perhatian oleh pemikiran, tingkah laku, penilaian, dan penghargaan kita.
Yaitu seperti keimanan kepada Allah SWT, kepada para nabi-Nya, hari akhirat, pahala dan siksaan, surga dan neraka.
Contoh lainnya yaitu pokok-pokok ibadah dan syiar-syiarnya, mendirikan shalat dan membayar zakat, puasa, haji, zikir kepada Allah, bertasbih, tahmid, istighfar, tobat, tawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat dan takut terhadap azab-Nya, syukur kepada nikmat-nikmat-Nya, bersabar terhadap cobaan-Nya, dan ibadah-ibadah batiniah, serta maqam-maqam ketuhanan yang tinggi.
Dan juga pokok-pokok keutamaan, akhlak yang mulia, sifat-sifat yang baik, kejujuran, kebenaran, kesederhanaan, ketulusan, kelembutan, rasa malu, rendah hati, pemurah, rendah hati terhadap orang-orang yang beriman dan berbesar hati menghadapi orang kafir, mengasihi orang yang lemah, berbuat baik terhadap kedua orangtua, silaturahim, menghormati tetangga, memelihara orang miskin, anak yatim dan orang yang sedang dalam perjalanan.
Kita juga perlu mengetahui isu-isu yang tidak begitu diberi perhatian oleh Islam kecuali sangat sedikit, misalnya masalah Isra' Nabi saw. Al-Qur'an hanya membicarakannya dalam satu ayat saja, berbeda dengan peperangan yang dibicarakan oleh al-Qur'an di dalam satu surat penuh.
Adapun maulid (istilah yang benar adalah milad) Rasul saw sama sekali tidak dibicarakan oleh al-Qur'an. Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat; sebagaimana keterkaitan kelahiran al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum Muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Itulah sebenarnya ukuran yang benar, karena sesungguhnya al-Qur'an merupakan tiang agama, landasan dan sumber Islam; dengan sunnah Nabi saw yang berfungsi sebagai pemberi penjelasan dan keterangannya. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya al-Qu'ran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal salih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar." (al-Isra,:9)
"... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (al-Ma'idah: 15-16)
"... Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri." (an-Nahl: 89)
Artinya, sesungguhnya al-Qur'an memberikan penjelasan mengenai pokok ajaran agama yang kokoh. Tidak ada satu pokok ajaran agama yang sifatnya sangat umum dan diperlukan oleh kehidupan Islam kecuali pokok ajaran ini telah ditanamkan kuat oleh al-Qur'an, baik secara langsung maupun tidak. Khalifah kita yang pertama pernah berkata, "Kalau aku kehilangan 'kendali unta' maka aku dapat menemukannya di dalam kitab Allah."
Please No Spam and junk, we will remove it !!