Saturday, March 6, 2010

PRIORITAS PEMAHAMAN ATAS HAFALAN

ADA baiknya saya mengingatkan di sini --ketika kita berbicara tentang prioritas pengetahuan atas amal perbuatan-- kepada sesuatu yang penting, yang juga termasuk di dalam perbincangan kita mengenai fiqh prioritas. Yaitu prioritas pemahaman atas penguasaan yang sekadar hafalan. Ilmu yang hakiki ialah ilmu yang betul-betul kita fahami dan kita cerna dalam otak kita.

Itulah yang sebenarnya diinginkan oleh Islam dari kita; yaitu pemahaman terhadap ajaran agama, dan bukan sekadar belajar agama; sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah SWT:

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (at-Taubah: 122)

Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan,

"Barangsiapa dihendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan memberinya pemahaman tentang agamanya."15

Fiqh merupakan sesuatu yang lebih dalam dan lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Sesungguhnya fiqh itu mencakup pemahaman, dan juga pemahaman yang mendalam. Oleh karena itu, Allah SWT menafikannya dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik, ketika Dia memberikan sifat kepada mereka:

"... disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (al-Anfal 65)

Dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan,

"Manusia itu bagaikan barang tambang, seperti layaknya tambang emas dan perak. Orang yang baik pada zaman jahiliyah adalah orang yang baik pada zaman Islam apabila mereka memiliki pemahaman yang baik."

Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Shahihain dikatakan,

"Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seperti hujan lebat yang menyirami tanah. Di antara tanah itu ada yang gembur yang bisa menerima air, kemudian menumbahkan rerumputan yang lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfantkan oleh manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air, tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.'16

Hadits ini mengumpamakan apa yang dibawa oleh Nabi, berupa petunjuk dan ilmu pengetahuan, laksana air hujan yang menghidupkan tanah yang mati, bagaikan ilmu agama yang menghidupkan hati yang telah mati. Orang yang menerima ajaran agama itupun bermacam-macam, seperti beraneka ragamnya tanah yang menerima air hujan. Tingkatan orang yang paling tinggi ialah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya, kemudian mengajarkannya. Ia bagaikan tanah yang subur dan bersih, yang airnya dapat diminum, serta menumbuhkan berbagai macam tanaman di atasnya. Tingkatan yang berada di bawahnya ialah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan, tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain... Mereka adalah orang-orang yang hafal, dan bila ada orang yang datang memerlukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. Orang-orang seperti inilah yang dapat dimanfaatkan ilmu pengetahuan mereka. Kelompok orang seperti ini diumpamakan seperti tanah cadas yang mampu menampung air, sehingga datang orang yang meminum airnya, atau memberi minum kepada binatang ternaknya, atau menyirami tanaman mereka. Itulah yang diisyaratkan dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:

"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya."17

Sedangkan kelompok ketiga ialah orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya ilmu dan tidak punya amal. Mereka bagaikan tanah cadas yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain.18

Hadits tersebut menunjukkan bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal. Disitulah letak kelebihan orang yang faham atas orang yang menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam qurun yang terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama sekali tidak mempunyai arti dan nilai, serta ingatan yang dimiliki oleh manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini tidak benar. Saya hanya ingin mengatakan: "Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan. Menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. Kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman, dan memberikan hak dan kemampuan yang lebih besar kepadanya.

Oleh karena itu, kita menemukan penghormatan yang sangat berlebihan diberikan kepada para penghafal al-Qur'an, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai negara, yang menjanjikan hadiah yang sangat besar nilainya; hingga mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini perlu kita hargai dan kita syukuri.

Akan tetapi, sangat disayangkan hadiah seperti itu, atau setengahnya, bahkan seperempatnya, tidak diberikan kepada orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqh, usul fiqh, aqidah, dan da'wah; padahal keperluan umat kepada orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping itu manfaat yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.

Di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan di negara kita ialah bahwa pendidikan itu kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari ingatan.

Catatan Kaki:

15 Muttafaq Alaih, dari Mu'awiyah. al-Lu'lu' wa al-Marjan (615) ^
16 Muttafaq 'Alaih, dari Mu'awiyah, al-Lu'lu' wal-Marjan (1471) ^
17 Hadits ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir (6763-6766) ^
18 Lihatlah penjelasan hadits ini di dalam at-Fath, 1 :177; Nawawi meriwayatkannya dari Muslim, yang kemudian dikutip oleh pengarang al-Lu'lu' wa al-Marjan. h. 601 ^

:: bookmark: pakdenono ::






PRIORITAS MAKSUD DAN TUJUAN ATAS PENAMPILAN LUAR
<< Kembali ke Daftar Isi >>


DI ANTARA persoalan yang termasuk di dalam fiqh prioritas ini ialah tujuan. Yakni menyelami pelbagai tujuan yang terkandung di dalam syari'ah, mengetahi rahasia dan sebabsebabnya, mengaitkan antara satu sebab dengan sebab yang lain, mengembalikan cabang kepada pokoknya, mengembalikan hal-hal yang parsial kepada yang universal, dan tidak menganggap cukup mengetahui penampakan dari luar, serta jumud di dalam memahami nash-nash syari'ah tersebut.

Sebagaimana diketahui, dari nash yang bermacam-macam, yang berasal dari al-Qur'an dan Sunnah, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian hukum yang parsial dalam berbagai bentuk peribadahan dan muamalah, hubungan antara keluarga, hubungan sosial, politik, dan hubungan internasional, bahwa syari'ah ini memiliki berbagai tujuan yang terkandung pada setiap hal yang disyari'ahkan olehnya, baik berupa perintah maupun larangan; ataupun berupa hukum yang mubah. Agama ini tidak mensyari'ahkan sesuatu dengan sewenang-wenang, tetapi dia dalam syari'ah yang dibuatnya terkandung hikmah yang sesuai dengan kesempurnaan Allah SWT, ilmu-Nya, rahmat-Nya, dan kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya. Di antara nama-Nya yang mulia ialah "Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana". Allah SWT Maha Bijaksana dengan apa yang disyari'ahkan dan Dia perintahkan. Dia juga Maha bijaksana dalam hal yang berkaitan dengan apa yang Dia ciptakan kemudian Dia menetapkan ukurannya. Kebijaksanaan-Nya tampak pada dunia perintah-Nya, sebagaimana tampak juga di dalam dunia penciptaan. Allah SWT berfirman:

"... Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah..." (al A'raf: 54)

Karena Dia tidak pernah menciptakan sesuatu dengan sia-sia, maka juga tidak pernah menetapkan syari'ah yang kaku dan tidak berguna.

Orang-orang yang bijak berkata tentang apa yang diciptakan oleh Tuhan

"... Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 151)

Kita juga dapat mengatakan, "Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkau tidak menetapkan syari'ah ini kecuali dengan hikmah yang terkandung di dalamnya."

Kekeliruan yang sering kali dilakukan oleh orang-orang yang menggeluti ilmu agama ini ialah bahwasanya mereka hanya mengambang di permukaan dan tidak turun menyelam ke dasarnya, karena mereka tidak memiliki keahlian dalam berenang dan menyelam ke dasarnya, untuk mengambil mutiara dan batu mulianya. Mereka hanya disibukkan dengan hal-hal yang ada di permukaan, sehingga tidak sempat mencari rahasia dan tujuan yang sebenarnya. Mereka dilalaikan oleh perkara-perkara cabang saja dan bukan perkara-perkara yang utama. Mereka menampilkan agama Allah, dan hukum-hukum syari'ahnya atas hamba-hamba-Nya dalam bentuk yang bermacam-macam, dan tidak menampilkan dalam bentuknya yang universal. Bentuk-bentuk itu tidak dikaitkan dengan satu sebab yang menyatukannya, sehingga syari'ah agama Allah hanya tampak seperti yang diucapkan oleh lidah mereka, dan yang ditulis oleh pena mereka. Syari'ah seakan-akan tidak mampu mewujudkan kemaslahatan bagi makhluk Allah, padahal kegagalan itu sebenarnya bukan pada syari'ah, tetapi pada pemahaman mereka yang memutuskan keterkaitan antara sebagian hukum dengan sebagian yang lain. Mereka tidak peduli bila tindakan mereka memisahkan antara hal-hal yang sama, atau menyamakan hal-hal yang sebetulnya berbeda; padahal hal itu sama sekali tidak pernah dinyatakan oleh syari'ah.

Seringkali penyimpangan pada hal-hal yang lahiriah seperti ini mempersempit apa yang sebenarnya telah diluaskan oleh Allah, mempersulit hal-hal yang dipermudah oleh syari'ah, membuat stagnasi persoalan yang sepatutnya dapat dikembangkan, serta mengikat hal-hal yang seharusnya dapat diperbarui dan kembangkan.





PRIORITAS IJTIHAD ATAS TAQLID

<< Kembali ke Daftar Isi >>


PEMBAHASAN mengenai prioritas ijtihad dan pembaruan atas pengulang-ulangan dan taqlid, berkaitan erat dengan fiqh maksud dan tujuan syari'ah seperti yang telah kami bahas di muka, serta berkaitan pula dengan masalah pemahaman dan hafalan.

Ilmu, menurut para ulama salaf umat ini, bukan sekadar pengetahuan tentang hukum, walaupun diperoleh dari hasil taqlid kepada orang lain atau mengutip perkataannya dengan tidak memiliki hujjah yang memuaskan. Dengan kata lain, dia mengetahui kebenaran melalu orang lain, dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil.

Ilmu, menurut mereka sekali lagi, ialah ilmu yang independen, yang disertai dengan hujjah, dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh Zaid atau Amr. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke manapun ia pergi. Dia berputar bersama kebenaran yang memuaskan di manapun berada.

Ibn al-Qayyim mengemukakan hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyei pengetahuan tentangnya..." (al-Isra': 36)

Dia berkata, "Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu." Dalam I'lam al-Muwaqqi'in, ia menyebutkan lebih dari delapan puluh macam taqlid yang tidak benar, dan penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya."19

Kalau kejumudan pada lahiriah nash dianggap tercela, sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut mazhab Zhahiriyah lama dan baru, maka celaan juga patut dikenakan terhadap kejumudan terhadap apa yang dikatakan oleh para tokoh terdahulu, tanpa mempedulikan perkembangan yang terjadi antara zaman kita dan zaman mereka, keperluan kita dan keperluan mereka, pengetahuann kita dan pengetahuan mereka. Saya kira, kalau mereka sempat hidup pada zaman kita sekarang ini sehingga mereka dapat melihat apa yang kita lihat, mereka hidup seperti kita hidup sekarang ini --pada posisi mereka sebagai orang yang mampu melakukan ijtihad dan berpandangan luas-- maka mereka akan banyak mengubah fatwa dan hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.

Bagaimana tidak? Sahabat-sahabat mereka, yang datang sesudah periode mereka banyak yang telah melakukan pengubahan, dikarenakan terjadinya perbedaan waktu dan zamannya, walaupun sebenarnya jarak waktu antara kelompok pertama dan kelompok yang kedua tidak begitu jauh. Bagaimana tidak, para imam ahli ijtihad itu sendiri telah banyak melakukan perubahan terhadap pendapat mereka ketika mereka masih hidup, karena mengikuti perubahan ijtihad yang baru mereka lakukan, bisa jadi karena pengaruh umur, kematangan, zaman, atau tempat mereka melakukan ijtihad?

Imam Syafi'i r.a. sebelum pindah dan menetap di Mesir dia telah mempunyai mazhab yang dikenal dengan "Qaul qadim" (pendapat lama); kemudian setelah dia menetap di Mesir, dia mempunyai mazhab baru yang dikenal dengan "Qaul jadid" (pendapat baru). Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya fatwanya dikeluarkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

Catatan Kaki:

19 Lihat I'lam al-Muwaqqi'in, juz 2, h. 168-260, cet. Al-Sa'adah Mesir, yang ditahqiq oleh Muhammad Muhyiddin Abd al-Hamid. ^



:: bookmark: pakdenono ::






PRIORITAS STUDI DAN PERENCANAAN PADA URUSAN DUNIA

<< Kembali ke Daftar Isi >>


KALAU kita pernah mengatakan tentang pentingnya ilmu atas amal dalam berbagai urusan agama, maka kita sekarang ini menegaskan mengenai pentingnya ilmu dalam urusan-urusan dunia.

Kita hidup sekarang ini pada zaman yang segala sesuatu didasarkan atas ilmu pengetahuan. Pada zaman kita sekarang ini sudah tidak lagi menerima hal-hal yang tidak teratur dan mengawur dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan kehidupan dunia.

Semua pekerjaan yang baik mesti didahului dengan studi kelayakan terlebih dahulu, dan harus dipastikan menghasilkan sesuatu yang memuaskan sebelum pekerjaan itu dimulai. Oleh karena itu, mesti ada perencanaan sebelum melakukannya, dan harus diperhitungkan secara matematis dan dilakukan berbagai penelitian sebelum pekerjaan itu dilakukan.

Dalam buku dan kajian-kajian yang lain saya pernah menyebutkan: "Sesungguhnya penelitian, perencanaan, dan studi kelayakan sebelum kerja dilaksanakan merupakan etos kerja yang telah ada pada Islam. Rasulullah saw adalah orang yang pertama kali melakukan perhitungan secara statistik terhadap orang-orang yang beriman kepadanya setelah dia berhijrah ke Madinah al-Munawwarah. Dan kesan dari perencanaan itu begitu terasa pada perjalanan hidup beliau dalam berbagai bentuknya.20

Seharusnya orang yang paling dahulu melakukan perencanaan hari esok mereka ialah para aktivis gerakan Islam, sehingga mereka tidak membiarkan semua urusan mereka berjalan tanpa perencanaan; tanpa memanfaatkan pengalaman di masa yang lalu; tanpa mencermati realitas yang terjadi pada hari ini; tanpa menimbang benar dan salahnya ijtihad yang pernah dilakukan; tanpa menilai untung-ruginya perjalanan umat kemarin dan hari ini; tanpa memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai kemampuan dan fasilitas yang dimiliki oleh umat, baik yang berbentuk material maupun spiritual, yang tampak dan yang tidak tampak, yang produktif dan yang tidak produktif. Perencanaan yang mereka buat itu mesti memperhatikan sumber kekuatan dan titik-titik kelemahan yang dimiliki oleh umat kita dan musuh-musuh kita; kemudian siapakah sebenarnya musuh kita yang hakiki? Siapakah musuh kita yang abadi dan musuh yang insidental? Siapakah di antara mereka yang mungkin dapat kita manfaatkan dan siapa yang tidak dapat dimanfaatkan? Siapa yang dapat kita ajak berdiskusi dan siapa yang tidak? Semua musuh harus kita pandang secara berbeda, karena pada hakikatnya mereka juga berbeda-beda.

Semua persoalan di atas tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu pengetahuan dan kajian yang objektif, yang sama sekali tidak emosional, bebas dari pelbagai pengaruh individual, lingkungan dan waktu sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia; karena sesungguhnya kebebasan yang bersifat mutlak hampir dapat dikatakan mustahil.

Catatan Kaki:

20 Baca buku kami ar-Rasul wal-'Ilm, cet. Mu'assasah ar-Risalah, Beirut dan Darus-Shahwah Islamiyyah. ^

Please No Spam and junk, we will remove it !!