Friday, March 26, 2010

Tentang Madzhab Wahhabi


Wahhabi atau Wahabi adalah gerakan yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan petunjuk Allah SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan serta berdasarkan pemahaman para Salafush shaleh. Wahhabi atau Wahabi disandarkan kepada nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pengasas dan pendiri usaha pemurnian agama Islam pada abad ke 18 M (1744M).


Di Nejed dan Hijaz yang dikenal sekarang sebagai Arab Saudi. Selain dinamakan Wahhabi, juga dikenal dengan istilah Salafy yang penyebutannya berdasarkan pada Salafush Saleh yang seperti diungkapkan diatas adalah kaum terdahulu yang shaleh (baik) dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama. Kaum terdahulu disini adalah berdasarkan jarak terdekat dengan masa kenabian yakni :

  • Para Sahabat yang langsung mendapatkan ajaran Nabi.
  • Tabi’in yakni generasi sesudah para sahabat.
  • Tabiut Tabi’in yakni generasi sesudah para tabiin

Namun demikian, penyebutan salafy disini adalah tidak terbatas kepada sesuadah para tabi’in tetapi juga bagi kaum muslimin yang mengikuti mereka.

Ajaran Wahhabi

Inti ajaran wahabi dan salafy sebenarnya adalah sama yakni mengamalkan ajaran agama berdasarkan Alqur’an dan Hadits dan juga pemahaman para Salafush Shaleh tanpa terikat dengan suatu Madzhab tetapi mengambil ajaran-ajaran yang berada dalam madzhab-mazhab tersebut yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadits yang derajatnya baik dan tidak ada pertentangan didalamnya. Hal ini sesuai dengan wasiat dari para Imam madzhab yang empat yakni Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali ,yaitu “Apabila ada ajaran atau pendapat yang bertentangan dengan hadits dan sunnah Nabi yang shahih (kuat dan benar), maka ikutilah ajaran hadits tersebut dan buang jauh-jauh pendapatku”.

Tata cara pengambilan dalil dalam ajaran Wahhabi

Dalam pelaksanaan ajaran agama, kaum wahabi atau salafy mengambil dalil hukum syariat berdasarkan:

* Al Qur’an yang merupakan firman Allah dan kitab suci kaum muslimin.
* Hadits yang berisi sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
* Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama kaum muslimin yang tidak ada pertentangan didalamnya dan tidak menyelisihi Al Qur’an dan Hadits.
* Qiyas atau analogi yakni pengambilan hukum suatu kasus berdasarkan hukum kasus yang lain yang terdapat kesamaan ciri dan sebab didalamnya bila tidak ada hukum yang khusus yang membahas secara tersendiri.

Pengambilan hukum hukum ini berlaku baik dalam masalah Aqidah atau keyakinan serta masalah Muammalah atau hubungan sosial interaksi antar manusia. Sehingga benar benar murni dan menghindari bid’ah yakni segala sesuatu yang baru dalam ajaran agama yang menyelisihi apa-apa yang diajarkan oleh Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan pemahaman Salafush shaleh. Sementara dalam masalah dunia, ajaran wahhabi atau salafy adalah mengambil manfaat dari kemajuan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan ummat manusia dan tidak membahayakan didalamnya sebagai sarana beribadah dan muammalah bagi manusia. Namun untuk hukum-hukum muammalah, karena masalah interaksi sosial berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka tata caranya adalah berdasarkan empat ketentuan diatas serta ditinjau dari segala sisi dalam kegiatan muamalah agar menghindari hal hal yang syubhat yakni yang tidak jelas antara yang dihalalkan (dibolehkan dalam ajaran agama) maupun yang diharamkan (yang dilarang dalam ajaran agama).

Tata cara pengambilan dalil ini yang dikenal sebagai kaidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Kata Ahlu Sunnah berarti adalah orang orang yang mengikuti sunnah atau tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan utusan Allah SWT . Sementara Jamaah disini adalah jamaah kaum muslimin yang merupakan satu jamaah yang sama sama mengukuti sunnah nabi meskipun pada zaman dan kurun waktu yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum wahhabi atau salafy, Ahlu Sunnah wal Jamaah. adalah kaum yang berpegang pada Al Quran, dan Sunnah, yang apabila tidak dijumpai dalam hadis maka akan terjadi konflik.

Sejarah dan perjalanannya

Dalam Hadits yang shahih, Nabi Muhammad SAW bersabda yang maknanya “Akan ada pada setiap zaman kaum yang berusaha memurnikan ajaran agama Islam”. Usaha pemurnian ajaran agama Isalm ini benar benar dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW serta para Sahabatnya dilanjutkan oleh pengikutnya, kaum tabi’in dan tabiut tabi’in. Dalam periode selanjutnya dikenal ulama-ulama yang berusaha untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam diantaranya adalah para penulis hadits diantaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, kemudian para ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Abdul Qadir Jailani dan terus dilanjutkan sampai pada masa kini diantaranya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz dan dimasa yang akan datang.

komentar Mengenai Asal-usul Mazhab Wahhabi

Mazhab Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya keliru dengan mereka kerena mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.

Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan dengan nama `Abd al-Wahhab yaitu bapak dan pengasasnya, al-Syaikh Muhammad bin `Abd al-Wahhab al-Najdi. Ia tidak dinamakan al-Muhammadiyyah yang mungkin boleh dikaitkan dengan nama Muhammad bin `Abd al-Wahhab bertujuan untuk menggalakkan persamaan di antara para pengikut Nabi Muhammad (s.`a.w) dengan mereka, dan juga bertujuan untuk menghalang berbagai bentuk eksploitasi (istighlal).[1][2] Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun[2][3] (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tawhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah.

Mazhab Wahhabi pada zaman moden ini tidak lain dan tidak bukan, adalah golongan al-Hasyawiyyah kerana kepercayaan-kepercayaan dan pendapat-pendapat mereka seratus persen sama dengan golongan yang dikenali sebagai al-Hasyawiyyah pada abad pertama.

Istilah al-Hasyawiyyah adalah berasal dari kata dasar al-Hasyw iaitu penyisipan, pemasangan dan pemasukan. Nama ini diberikan kepada orang-orang yang menerima dan mempercayai semua hadits yang dibawa masuk ke dalam Islam oleh orang-orang munafiq. Mereka mempercayai semua hadits yang dikaitkan kepada Nabi (s.`a.w) dan para sahabat berdasarkan pengertian dari segi bahasa semata tanpa penilaian semula. Bahkan sekiranya suatu “ hadits “ itu dipalsukan (tetapi orang yang memalsukannya memasukkan suatu rangkaian perawi yang baik kepadanya), mereka tetap menerimanya tanpa mempedulikan sama sekali apakah ada teks hadits itu sejalan dan selaras dengan al-Qur’an, ataupun hadits yang diakui sahih atau sebaliknya.

Ahmad bin Yahya al-Yamani (m.840H/1437M) mencatatkan bahawa: “ Nama al-Hasyawiyyah digunakan terhadap orang-orang yang meriwayatkan hadits-hadits sisipan yang sengaja dimasukkan oleh golongan al-Zanadiqah sebagai sabda Nabi dan mereka menerimanya tanpa adanya interpretasi terdahulu, dan mereka juga menggelarkan diri mereka Ashab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah… Mereka bersepakat mempercayai konsep pemaksaan (Allah berhubung dengan perbuatan manusia) dan tasybih (bahawa Allah seperti makhluk-Nya) dan mempercayai bahawa Allah mempunyai jasad dan bentuk serta mengatakan bahawa Allah mempunyai anggota tubuh … “[3][4]

Al-Syahrastani (467-548H/1074-1153M) menuliskan bahawa: “ Terdapat sebuah kumpulan Ashab al-Hadith, iaitu al-Hasyawiyyah dengan jelas mengisytiharkan kepercayaan mereka tentang tasybih (iaitu Allah seumpama makhluk-Nya) … sehinggakan mereka sanggup mengatakan bahawa pada suatu ketika, kedua-dua mata Allah kesedihan, lalu para malaikat datang menemui-Nya dan Dia (Allah) menangisi (kesedihan) dengan banjir Nabi Nuh (`a.s) sehingga mata-Nya menjadi merah, dan `Arasy meratap iba seperti suara pelana baru dan Dia melampaui `Arasy dalam keadaan melebihi empat jari di setiap penjuru.”[4][5]

Definisi dan gambaran ini secara langsung menepati golongan Wahhabi yang menamakan diri mereka sebagai Ashab al-Hadits atau Ahl al-Hadits dan kerapkali juga sebagai Sunni, dan pada masa kini mereka memperkenalkan diri mereka sebagai Ansar al-Sunnah ataupun Ittiba` al-Sunnah.

Latar belakang Pengasas Mazhab Wahhabi

Muhammad bin `Abd al-Wahhab dilahirkan di perkampungan `Uyainah, salah satu kampung di Najd di bagian selatan pada tahun 1115H/1703M. Bapaknya, `Abd al-Wahhab merupakan seorang Qadhi. Muhammad dikatakan pernah mempelajari bidang fiqh al-Hanbali dengan bapaknya, yang juga adalah salah seorang tokoh ulama al-Hanabilah. Semenjak kecil, dia mempunyai hubungan yang erat dengan pengkajian dan pembelajaran kitab-kitab tafsir, hadits dan akidah.

Pada masa remajanya, Muhammad selalu merendahkan dan mengabaikan syiar agama yang biasanya dipegang oleh penduduk Najd, bukan saja di Najd bahkan hingga ke Madinah selepas dia kembali dari menunaikan haji. Dia sering mengadakan perubahan dalam pendapat dan pemikiran di dalam majlis-majlis agama, dan dia tidak suka kepada orang yang bertawassul kepada Nabi (s.`a.w) di tempat kelahiran (marqad) baginda yang suci itu.

Kehidupannya selama beberapa tahun dihabiskan dengan mengembara dan berdagang di kota-kota Basrah, Baghdad, Iran, India dan Damaskus. Di Damaskus, dia telah menemui kitab-kitab karangan Ibn Taimiyyah al-Harrani (m.728H/1328M) yang mengandungi ajaran-ajaran yang berunsur kontroversi berbanding dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.

Dia kembali ke Najd dan kemudian pindah ke Basrah. Dalam perjalanannya ke Syam, di Basrah dia mampu memenuhi matlamatnya mencegah banyak orang dari melakukan syiar agama mereka dan menghalang mereka dari perbuatan tersebut. Justeru itu penduduk Basrah bangkit menentangnya, dan menyingkirkannya dari perkampungan mereka. Akhirnya dia melarikan diri ke kota al-Zabir.

Dalam perjalanan di antara Basrah dan al-Zabir, akibat terlalu letih berjalan kerena kepanasan sehingga hampir-hampir menemui ajalnya, seorang lelaki (dari kota al-Zabir) telah menemuinya lalu membantunya ketika melihatnya berpakaian seperti seorang alim. Dia diberikan minuman dan dibawa balik ke kota tersebut. Muhammad bin `Abd al-Wahhab berniat untuk ke Syam tetapi dia tidak mempunyai harta dan bekalan yang mencukupi, lalu bermusafir ke al-Ahsa’ dan dari situ, terus ke Huraymilah (dalam kawasan Najd) juga.

Pada tahun 1139H/1726M, bapaknya pindah dari `Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapaknya dan belajar dengannya tetapi masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd, yang menyebabkan terjadinya pertentangan dan perselisihan yang berkecamuk di antaranya dan bapaknya di satu pihak dan, di antaranya dengan penduduk-penduduk Najd di pihak yang lain. Keadaan tersebut terus berlanjut hingga tahun 1153H/1740M apabila bapaknya meninggal dunia.[5][6] Sejak dari itu, Muhammad tidak lagi terikat. Dia telah mengemukakan akidah-akidahnya yang sesat, menolak dan menepikan amalan-amalan agama yang dilakukan serta menyeru mereka menyertai kumpulannya.
Sebagian tertipu dan sebagian lagi meninggalkannya hingga dia mengisytiharkan kekuasaannya di Madinah.

Muhammad kembali ke `Uyainah yang pada saat itu diperintah oleh `Utsman bin Hamad kemudian menerima dan memuliakannya hingga berlakulah ketetapan di antara mereka berdua bahawa setiap orang hendaklah mempertahankan yang lain dengan orang memegang kekuasaan dalam perundangan Islam (al-tasyri`) dan seorang lagi dalam pemerintahan. Pemerintah `Uyainah mendukung Muhammad dengan kekuatannya dan Muhammad bin `Abd al-Wahhab pula menyeru manusia mentaati pemerintah dan para pengikutnya.

Berita telah sampai kepada pemerintah al-Ahsa’ bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat dan bid`ahnya, manakala pemerintah `Uyainah pula mendukungnya. Beliau telah memerintahkan supaya suatu risalah peringatan dan ancaman diantar kepada pemerintah `Uyainah. Pemerintah `Uyainah telah memanggil Muhammad dan memberitahunya bahawa dia enggan membantunya. Ibn `Abd al-Wahhab berkata kepadanya: “ Sekiranya engkau membantuku dalam dakwah ini, engkau akan menguasai seluruh Najd.” Pemerintah tersebut menyingkirkannya dan memerintahkannya meninggalkan `Uyainah dengan cara mengusirnya pada tahun 1160H/1747M.

Pada tahun itu, Muhammad keluar dari `Uyainah ke Dar`iyyah di Najd yang diperintah oleh Muhammad bin Sa`ud (m.1179H/1765M) yang kemudian menziarahi, memuliakan dan menjanjikan kebaikan kepadanya. Sebagai balasannya, Ibn `Abd al-Wahhab memberikan kabar gembira kepadanya dengan jaminan penguasaan Najd keseluruhannya. Dengan cara itu, suatu ketetapan dimateraikan.[6][7] Penduduk Dar`iyyah mendukungnya hingga akhirnya Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dan Muhammad bin Sa`ud memeterai perjanjian atau memorandum kesepakatan antar keduanya (`aqd al-Ittifaqiyyah).

Ibn Basyr al-Najdi yang dipetik oleh al-Alusi mengatakan: “ Penduduk Dar`iyyah pada masa itu dalam keadaan sangat menderita dan kesusahan, mereka lalu berusaha untuk memenuhi kehidupan mereka … Aku lihat kesempitan hidup mereka pada saat pertama tetapi kemudian aku lihat al-Dar`iyyah setelah itu – pada zaman Sa`ud, penduduknya memiliki harta yang banyak dan senjata dibaluti emas, perak, kuda yang baik, para bangsawan, pakaian mewah dan lain-lain apalagi sumber-sumber kekayaan sehingga lidah kelu untuk berkata-kata dan gambaran secara terperinci tidak mampu diuraikan.”

“ Aku lihat tempat orang ramai pada hari itu, di tempat dikenali al-Batin – aku lihat kumpulan lelaki di satu pihak dan wanita di pihak lain, aku lihat emas, perak, senjata, unta, kuda, pakaian mewah dan semua makanan tidak mungkin dapat digambarkan dan tempat itu pula sejauh mata memandang, aku dengar hiruk-pikuk suara-suara penjual dan pembeli … “[7][8]

Harta yang banyak itu tidak diketahui dari mana datangnya, dan Ibn Basyr al-Najdi sendiri tidak memberikan sumber harta kekayaan yang banyak itu tetapi berdasarkan fakta-fakta sejarah, Ibn `Abd al-Wahhab memperolehinya dari serangan dan serbuan yang dilakukannya bersama-sama para pengikutnya terhadap kabilah-kabilah dan kota-kota yang kemudian meninggalkannya untuknya. Ibn `Abd al-Wahhab merampas harta kekayaan itu dan membagi-bagikannya kepada penduduk Dar`iyyah.

Ibn `Abd al-Wahhab mengikuti kaedah khusus dalam pembahagian harta rampasan dari umat Islam yang meninggalkannya. Ada kalanya, dia membagikannya kepada 2 atau 3 orang pengikutnya. Amir Najd menerima bagiannya dari ghanimah itu dengan persetujuan Muhammad bin `Abd al-Wahhab sendiri. Ibn `Abd al-Wahhab melakukan mu`amalah yang buruk dengan umat Islam yang tidak tunduk kepada hawa nafsu dan pendapatnya seperti mu`amalah terhadap kafir harbi dan dia menghalalkan harta mereka.

Ringkasnya, Muhammad ibn `Abd al-Wahhab kelihatan menyeru kepada agama Tawhid tetapi tawhid sesat ciptaannya sendiri, dan bukannya tawhid menurut perintah al-Qur’an dan al-Hadits. barangiapa yang tunduk (kepada tawhidnya) akan terpelihara diri dan hartanya dan barangsiapa yang enggan maka dianggap kafir harbi (yang perlu diperangi) sama darah dan hartanya.

Di atas alasan inilah, golongan Wahhabi menguasai medan peperangan di Najd dan kawasan-kawasan di luarnya seperti Yaman, Hijaz, sekitar Syria dan `Iraq. Mereka merenggut keuntungan yang berlimpah dari kota-kota yang mereka kuasai mengikut kemauan dan kehendak mereka, dan jika mereka boleh menghimpunkan kawasan-kawasan itu ke dalam kekuasaan dan kehendak mereka, mereka akan lakukan semua itu, tetapi jika sebaliknya mereka hanya memadai dengan merampas harta kekayaan saja.[8][9]

Muhammad memerintahkan orang-orang yang cenderung mengikuti dakwahnya supaya memberikan bai`ah dan orang-orang yang enggan wajib dibunuh dan dibagi-bagikan hartanya. Oleh kerana itu, dalam proses membuang dan mengasingkan penduduk kampung di sekitar al-Ahsa’ untuk mendapatkan bai`ah itu, mereka telah menyerang dan membunuh 300 orang dan merampas harta -harta mereka.[9][10]

Akhirnya Muhammad meninggal dunia pada tahun 1206H/1791M tetapi para pengikutnya telah meneruskan mazhabnya dan menghidupkan bid`ah dan kesesatannya kembali. Pada tahun 1216H/1801M, al-Amir Sa`ud al-Wahhabi mempersiapkan tentara yang besar terdiri dari 20 000 orang dan melakukan serangan ganas ke kota suci Karbala’ di `Iraq. Karbala merupakan sebuah kota suci dihiasi dengan kemasyhuran dan ketenangan di hati umat Islam. Pelbagai bangsa berhasrat untuk ke sana diantara mereka ada berbangsa Iran, Turki, Arab dan sebagainya. Tentara Wahhabi mengepung dan memasuki kota itu dengan melakukan pembunuhan, rampasan, runtuhan dan kebinasaan. Puak Wahhabi telah melakukan keganasan dan kekejaman di kota Karbala’ dengan jinayah yang tidak mengenal batas perikemanusiaan dan tidak mungkin dapat dibayangkan. Mereka telah membunuh 5000 orang Islam atau bahkan lebih, sehingga disebutkan sebanyak 20 000 orang.

Apabila al-Amir Sa`ud menyudahi perbuatan keji dan kejamnya di sana, dia merampas khazanah harem al-Imam al-Husayn bin `Ali (`a.s) yang banyak dengan harta, perhiasan dan hadiah yang dikurniakan oleh raja, pemerintah dan lain-lain kepada maqam suci ini. Selepas melakukan keganasan yang cukup menjijikkan ini, dia kemudian menakluki Karbala’ untuk dirinya sehingga para penyair menyusun qasidah-qasidah penuh dengan rintihan, keluhan dan dukacita mereka.[10][11]

Puak Wahhabi mengambil masa selama 12 tahun membuat serangan ke atas kota Karbala’ dan kawasan sekitarnya, termasuk Najaf. Mereka kembali sebagai perampas, penyamun dan pencuri dengan memulainya pada tahun 1216H/1801M. Para penulis Syi`ah bersepakat bahawa serangan dan serbuan itu berlaku pada hari `Ied al-Ghadir dalam memperingati ketetapan Nabi (s.`a.w) mengenai pelantikan al-Imam `Ali bin Abi Talib sebagai khalifah selepas baginda.[11][12]

Al-`Allamah al-Marhum al-Sayyid Muhammad Jawwad al-`Amili mengatakan:[12][13]

“ Allah telah menentukan dan menetapkan dengan kebesaran dan keihsanan-Nya dan juga dengan berkat Muhammad dan baginda (s.`a.w), untuk melengkapkan juzuk ini daripada kitab Miftah al-Karamah, selepas tengah malam yang ke-9, bulan Ramadan al-mubarak tahun 1225H/1810M – menurut catatan penyusunnya …” dengan kekacauan fikiran dan kegaluan keadaan, orang-orang `Arab dikelilingi oleh orang-orang dari `Unaizah yang mengucapkan kata-kata puak al-Wahhabi al-Khariji di al-Najaf al-Asyraf dan masyhad al-Imam al-Husayn (`a.s) – mereka telah memintas jalan dan merampas hak milik para penziarah al-Husayn (`a.s) setelah mereka kembali dari ziarah itu pada pertengahan bulan Sya`ban. Mereka membunuh sebagian besar daripadanya, terdiri dari orang-orang `Ajam, diperkirakan 150 orang ataupun kurang …”

Jelaslah, bahawa tawhid yang diserukan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan jamaahnya adalah dengan mengharuskan darah dan harta orang yang mengingkari dakwah mereka, juga menerima kata-kata atau akidah-akidah mereka bahawa Allah berjisim, mempunyai anggota tubuh badan dan sebagainya.

Al-Alusi dalam penjelasannya tentang Wahhabi mengatakan: “ Mereka menerima hadits-hadits yang datang dari Rasulullah (s.`a.w) bahawa Allah turun ke langit dunia dan berkata: Adakah orang-orang yang ingin memohon keampunan?”[13][14] Sehingga dia mengatakan: “ Mereka mengakui bahawa Allah ta`ala datang pada hari Qiyamat sebagaimana kata-Nya: “ dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, dan pada hari itu ingatlah manusia akan tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya “ (al-Fajr (89): 23) dan sesungguhnya Allah menghampiri makhluk-Nya menurut kehendak-Nya seperti yang disebutkan: “ dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya “ (Qaf (50): 16).

Dapat dilihat dalam kitab al-Radd `ala al-Akhna’i oleh Ibn Taimiyyah bahawa dia menganggap hadits-hadits yang diriwayatkan tentang kelebihan ziarah Rasulullah (s.`a.w) sebagai hadits mawdu` (palsu). Dia juga turut menjelaskan “ orang yang berpegang kepada akidah bahawa Nabi masih hidup walaupun sesudah mati seperti kehidupannya semasa baginda masih hidup,” dia telah melakukan dosa yang besar. Ini juga yang diiktiqadkan oleh Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, bahkan mereka menambahkan pemalsuan dan kebatilan Ibn Taimiyyah tersebut.

Para pengikut akidah Wahhabi yang batil memberikan tanggapan kepada para pengkaji yang melakukan penyelidikan mengenai Islam – menerusi perhatian dan penelitian kepada kitab-kitab mereka dan mengenali Islam menelusuri bahan-bahan cetakan mereka sendiri – hingga menyebabkan mereka beranggapan bahawa Islam adalah agama yang kaku, beku, terbatas dan tidak dapat berlaku dan sesuai pada setiap masa dan zaman.

Lothrop Stodard berbangsa Amerika mengatakan: “ Kesan dari itu, kritikan-kritikan telah timbul karena puak Wahhabi berpegang kepada dalil tersebut dalam perkataan mereka hingga dikatakan bahawa Islam dari segi jawhar dan tabiatnya tidak mampu lagi berhadapan dengan perubahan menurut kehendak dan tuntutan zaman, tidak dapat berjalan seiringan dengan keadaan kemajuan dan proses perubahan serta tidak lagi mempunyai kesatuan dalam perkembangan kemajuan zaman dan perubahan masa …”[14][15]

Penentangan Terhadap Mazhab Wahhabi

Para ulama al-Hanbali memberontak terhadap Muhammad bin `Abd al-Wahhab dan mengeluarkan hukum bahawa akidahnya adalah sesat, menyeleweng dan batil awalnya. Tokoh pertama yang mengisytiharkan penentangan terhadapnya adalah bapaknya sendiri, al-Syaikh `Abd al-Wahhab, diikuti oleh saudaranya, al-Syaikh Sulayman. Kedua-duanya adalah dari mazhab al-Hanabilah. Al-Syaikh Sulayman menulis kitab yang berjudul al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah untuk menentang dan menghantamnya. Di samping itu tentangan juga datang kepadanya dari sepupunya, `Abdullah bin Husayn.

Mufti Makkah, Zaini Dahlan mengatakan: “ `Abd al-Wahhab, bapak dari al-Syaikh Muhammad adalah seorang yang saleh dan seorang tokoh ahli ilmu, begitu juga dengan al-Syaikh Sulayman. Al-Syaikh `Abd al-Wahhab dan al-Syaikh Sulayman, kedua-duanya dari awalnya yaitu ketika Muhammad mengikuti pengajarannya di Madinah al-Munawwarah telah mengetahui pendapat dan pemikiran Muhammad yang meragukan. Keduanya telah mengkritik dan mencela pendapatnya dan mereka berdua turut memperingatkan orang-orang mengenai bahayanya pemikiran Muhammad…”[15][16]

Dalam keterangan Zaini Dahlan yang lain dikatakan bahawa “ bapaknya `Abd al-Wahhab, saudaranya Sulayman dan guru-gurunya telah dapat mengesani tanda-tanda penyelewengan agama (ilhad) dalam dirinya yang didasarkan kepada perkataan, perbuatan dan tentangan Muhammad terhadap banyak persoalan agama.”[16][17]

`Abbas Mahmud al-`Aqqad al-Masri mengatakan: “ Orang yang paling kuat menentang al-Syaikh dalam persoalan ini adalah saudaranya, al-Syaikh Sulayman, penulis kitab al-Sawa`iq al-Ilahiyyah. Beliau tidak mengakui saudaranya itu mencapai kedudukan berijtihad dan berkemampuan memahami al-Kitab dan al-Sunnah. Al-Syaikh Sulayman berpendapat bahawa para Imam yang lalu, generasi demi generasi tidak pernah mengkafirkan ashab bid`ah, dalam hal ini tidak pernah timbul persoalan kufur sehingga timbulnya ketetapan mewajibkan mereka memisahkan diri daripadanya dan sehingga diharuskan pula memeranginya kerana alasan tersebut.”

Al-Syaikh Sulayman berkata lagi bahawa: “ Sesungguhnya perkara-perkara itu berlaku sebelum zaman al-Imam Ahmad bin Hanbal iaitu pada zaman para Imam Islam, dia mengingkarinya manakala ada di antara mereka pula mengingkarinya, keadaan itu berlanjut hingga dunia Islam meluas. Semua perbuatan itu dilakukan orang-orang yang kamu kafirkan mereka kerananya, dan tiada seorang pun dari para Imam Islam yang menceritakan bahawa mereka mengkafirkan (seseorang) dengan sebab-sebab tersebut. Mereka tidak pernah mengatakan seseorang itu murtad, dan mereka juga tidak pernah menyuruh berjihad menentangnya. Mereka tidak menamakan negara-negara orang Islam sebagai negara syirik dan perang sebagaimana yang kamu katakan, bahkan kamu sanggup mengkafirkan orang yang tidak kafir kerana alasan-alasan ini meskipun kamu sendiri tidak melakukannya…”[17][18]

Jelaslah bahawa Muhammad bin `Abd al-Wahhab bukan saja sengaja mengada-adakan bid`ah dalam pendapat dan pemikirannya, bahkan beberapa abad terdahulu sebelumnya, pendapat dan pemikiran seperti itu telah didahului oleh Ibn Taimiyyah al-Harrani dan muridnya, Ibn al-Qayyim al-Jawzi dan tokoh-tokoh seperti mereka berdua.

Ibn Taimiyyah

Dia ialah Abu al-`Abbas bin `Abd al-Halim atau lebih dikenali Ibn Taimiyyah (m.728H/1328M) termasuk dalam kalangan ulama al-Hanabilah. Pendapat dan pemikirannya bercanggah dan berlawanan dengan akidah ulama dan umat Islam pada zamannya sehingga tokoh-tokoh ulama telah mengeluarkan perisytiharan perang dan menghukumkannya fasiq dan sesat, terutama setelah akidahnya yang penuh kebatilan dituliskan dan disebarkan kepada banyak orang.

Penentangan terhadap Ibn Taimiyyah dilakukan menerusi dua cara:

(1) Penulisan kitab-kitab dan tulisan-tulisan yang menjawab dan menyangkal pendapat dan pemikirannya yang batil berdasarkan pandangan al-Qur’an dan al-Hadits. Contohnya:
a) Taqi al-Din al-Subki dengan kitabnya, Syifa’ al-Siqam fi Ziyarah Qabr al-Imam.
b) Al-Subki dengan kitabnya, al-Durrah al-Mudi’ah fi al-Radd `ala Ibn Taimiyyah.
c) Taqi al-Din Abi `Abd-Allah al-Akhna’i, Qadi al-Qudat al-Malikiyyah.
d) Fakhr bin Muhammad al-Qarsyi, Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mutadi.
e) Taqi al-Din al-Hasani, Daf` al-Syubhah.
f) Taj al-Din, al-Tuhfah al-Mukhtarah fi al-Radd `ala Munkir al-Ziyarah.

Semua tokoh yang disebutkan di atas menolak pendapat dan pemikiran Ibn Taimiyyah dan memperlihatkan kedangkalan serta kecetekan pendapatnya.

(2) Celaan dan kritikan para ulama dan fuqaha’ terhadapnya dengan mengeluarkan hukum dan fatwa tentang kefasikan dan kekufurannya, dan mereka turut memberikan peringatan tentang bid`ah dalam agama yang boleh merusakkan, yang dihasilkan dari pemikirannya.

Tokoh ulama tersebut ialah al-Badr bin Jama`ah, Qadi al-Qudat di Mesir. Umat Islam telah menulis kepadanya tentang pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ziarah kubur Nabi (s.`a.w). Qadi al-Qudat tersebut menjawab:

“ Ziarah Nabi adalah sunat yang dituntut. Ulama sepakat dalam hal ini dan barangsiapa yang berpendapat bahawa ziarah itu adalah haram, maka para ulama wajib mengutuknya dan mencegahnya dari mengeluarkan pendapat tersebut. Sekiranya dia enggan, maka hendaklah dipenjarakan dan direndahkan kedudukannya sehingga umat manusia tidak mengikutinya lagi.

Bukan Qadi al-Syafi`iyyah di Mesir sahaja yang mengeluarkan fatwa ini, bahkan Qadi al-Malikiyyah dan al-Hanbaliyyah turut serta mendakwa kefasikan Ibn Taimiyyah dan menghukumkannya sebagai sesat dan menyeleweng.[18][19]

Al-Dzahabi, salah seorang ulama abad ke-8H/14M, tokoh sezaman dengan Ibn Taimiyyah telah menulis sebuah risalah kepadanya, dengan mencegahnya dari mengeluarkan pendapat tersebut … dan beliau menyamakannya dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi dari segi kesesatan dan kejahatan.[19][20]

Ibn Taimiyyah meninggal dunia pada tahun 728H/1328M di dalam penjara al-Syam. Ibn al-Qayyim coba menyambung dan meneruskan usaha gurunya, tetapi tidak berhasil. Dengan kematian Ibn Taimiyyah, segala pendapat dan pemikirannya juga turut mengalami kematian, dan umat Islam terlepas dari bid`ah dan kesesatannya.

Kemudian Muhammad bin `Abd al-Wahhab datang dengan membawa pemikiran Ibn Taimiyyah dan bersekongkol dengan keluarga Sa`ud yang saling mendukung satu dengan yang lain dari segi pemerintahan dan keislaman. Di Najd, kesesatan telah tersebar dan faham al-Wahhabiyyah merembet ke seluruh pelosok tempat semisal kanser (al-saratan) dalam tubuh badan manusia. Dia menipu kebanyakan umat manusia dan menubuhkan sebuah pertubuhan ataupun dengan kata-kata lain, mazhab atas nama Tawhid dengan menjatuhkan hukuman atas Ahl al-Tawhid, menumpahkan darah umat Islam atas alasan jihad menentang golongan musyrikin hingga menyebabkan beribu-ribu orang manusia, lelaki dan wanita, kecil dan besar menjadi mangsa bid`ah mereka yang sesat. Ia turut serta menyebabkan perselisihan (khilaf) yang sempit semakin membesar dan menjadi-jadi di kalangan umat Islam dan dengan cara itu, mazhab yang baru ini dihubungkan dengan mazhab-mazhab yang banyak itu. Musibah itu akhirnya sampai ke memuncaknya dengan jatuhnya dua buah kota suci, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah.

Penduduk Najd bermazhab Wahhabi memperolehi bantuan dan pertolongan Britain yang ingin melihat perpecahan negara Islam kepada negara-negara yang lebih kecil dari segi kedudukan geografi. Mereka dengan sengaja berusaha menghapuskan segala kesan dan tinggalan Islam di kota-kota Makkah dan Madinah dengan memusnahkan kubur para wali (awliya’) Allah, mencemarkan kehormatan kerabat Rasulullah (Al Rasulillah) dan lain-lain dengan perbuatan-perbuatan jinayah dan dosa untuk menggoncangkan hati dan perasaan umat Islam.

Sebagian ahli sejarah menyebutkan: “ Kemunculan secara tiba-tiba mazhab Wahhabi dan sewaktu mereka memegang kekuasaan di Makkah, operasi pemusnahan secara besar-besaran telah dilakukan oleh mereka dengan memusnahkan pertamanya, apa sahaja yang ada di al-Mu`alla, sebuah kawasan perkuburan Quraisy yang terdiri dari kubah-kubah (qubbah) yang begitu banyak, termasuk kubah-kubah Sayyidina `Abd al-Muttalib, datuk Nabi (s.`a.w), Sayyidina Abi Talib, al-Sayyidah Khadijah sebagaimana yang telah mereka lakukan kepada kubah-kubah tempat kelahiran Nabi (s.`a.w), Abu Bakr dan al-Imam `Ali. Mereka juga turut memusnahkan kubah zamzam dan kubah-kubah lain di sekitar Ka`bah, kemudian diikuti oleh kawasan-kawasan lain yang mempunyai kesan dan tinggalan orang-orang salih. Semasa mereka melakukan pemusnahan itu, mereka membuang kekotoran sambil memukul gendang (al-tubul) dan menyanyi dengan mengeluarkan kata-kata mencaci dan menghina kubur-kubur … sehingga dikatakan sebahagian dari mereka sanggup kencing di atas kubur-kubur para salihin tersebut.”[20][21]

Al-`Allamah al-Sayyid Sadr al-Din al-Sadr mengatakan:

“ Demi usia hidupku, sesungguhnya al-Baqi` telah menerima nasib yang sangat malang, kerana hati-hati yang kecewa, mengikut nafsu dan berperangai kebudakan, maka berlakulah pencetus kepada segala kecelakaan, apabila tiada lagi kedamaian. Bagi umat Islam kepada Allah diadukan, hak Nabi-Nya yang telah memberikan petunjuk dan syafaat.”

Katanya lagi:

“ Celakalah anak cucu Yahudi dengan perbuatan jahat yang mereka lakukan, mereka tidak mendapat apa-apa darinya dengan membongkarkan harim Muhammad dan kaum kerabat baginda. Neraka wail untuk mereka dengan apa yang mereka tentang terhadap orang-orang yang kuat (al-Jabbar). Mereka musnahkan kubur orang-orang saleh dengan perasaan benci mereka. Hindarilah mereka kerana sesungguhnya mereka membenci orang-orang yang terpilih (di sisi Allah).”

Nabi Muhammad (s.`a.w) pernah bersabda bahawa: “ Apabila sesuatu bid`ah itu muncul di kalangan umatku, maka orang-orang alim hendaklah memperlihatkan dan menyampaikan ilmu mereka kerana kalau mereka tidak melakukannya, laknat Allah akan ditimpakan atas mereka.”[21][22]

Rasulullah (s.`a.w) juga bersabda: “ Apabila bid`ah timbul dan orang-orang yang terkemudian dari umat ini melaknat orang-orang yang terdahulu, maka barang siapa yang memiliki keilmuan, maka hendaklah menyampaikannya. Sesungguhnya orang yang menyembunyikan keilmuannya pada hari itu seumpama orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad.”[22][23]

Para Siddiqin (`a.s) dari kaum kerabat Rasulullah (s.`a.w) mengatakan bahawa: “ Apabila bid`ah lahir, maka orang alim hendaklah menzahirkan keilmuannya, sekiranya dia tidak berbuat demikian, cahaya keimanan (Nur al-Iman) akan hilang.”[23][24]

Atas dasar inilah, para ulama Syi`ah dan Sunni telah bersama-sama bangkit menentang serangan mazhab Wahhabi. Mereka telah menulis, menerbitkan kitab-kitab dan menjelaskan keburukan dan kejahatan tokoh-tokoh Wahabi yang berusaha untuk merealitikan cita-cita dan harapan Britain menerusi bentuk baru.

Kitab pertama yang ditulis untuk menolak dan menentang fahaman Muhammad ibn `Abd al-Wahhab ialah al-Sawa`iq al-Ilahiyyah fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah yang ditulis oleh al-Syaikh Sulayman, yaitu saudara Muhammad sendiri.

Di kalangan golongan Syi`ah pula, kitab pertama ditulis untuk tujuan tersebut ialah Manhaj al-Rasyad oleh al-Syaikh Ja`far Kasyif al-Ghita’ (m.1228H/1813M). Kitabnya ditulis untuk menjawab risalah yang dihantarkan kepadanya oleh al-Amir `Abd al-`Aziz bin Sa`ud, salah seorang pemerintah Sa`udi pada zamannya. Beliau telah membongkarkan kecetekan dan kedangkalan pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dalam kitabnya dan mensabitkan kebatilan pemikiran Muhammad menurut pandangan al-Qur’an dan al-Sunnah. Kitabnya itu telah dicetak pada tahun 1343H/1924M di al-Najaf al-Asyraf di `Iraq. Selepas itu, kitab-kitab lain mulai menyusul satu demi satu dengan menolak dan mengkritik pemikiran Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dari perspektif yang lain hingga ke saat ini.

Pada zaman itu, golongan Wahhabi telah meningkatkan serangan mereka yang merusakkan dan berbahaya terhadap Islam dan umatnya menerusi penentangan dan peperangan yang didalangi oleh keluarga Sa`ud dengan bantuan dari hasil keuntungan minyak mereka. Pemerintahan kesultanan Sa`udi telah memperuntukkan sejumlah besar hasil keuntungan petrol mereka untuk menyebarkan dan mengembangkan mazhab ciptaan Britain ini di kalangan orang Islam. Kalaulah tidak karena kekayaan yang besar itu tentulah mazhab Wahhabi tidak akan dapat bertahan hingga saat ini.

Kelihatan bahawa unsur-unsur penjajahan (al-isti`mar) Britain begitu jelas menerusi mazhab tersebut dan mereka mengambilnya sebagai cara yang terbaik untuk mewujudkan perpecahan, pertelagahan, persengketaan, permusuhan, perselisihan dan pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Mazhab tersebut juga turut memperkuatkan dan memperkukuhkan matlamat penjajahan Britain dengan mengada-adakan fitnah di kalangan umat Islam seperti menuduh orang-orang Islam yang lain sebagai fasiq dan kafir.

Umat Islam yang tidak prihatin dan mempunyai pemikiran yang cetek dengan mudah diperdayakan oleh mereka sehingga akhirnya mereka sama ada secara sedar atau tidak, turut sama mendukung usaha-usaha mazhab Wahhabi dan Britain, bahkan melaksanakannya dalam kehidupan mereka menerusi perbuatan dan tindakan terhadap umat Islam lain yang disangkakan sebagai lawan-lawan mereka. Keadaan yang berlanjutan ini menyebabkan umat Islam menjadi lemah dan mudah diperkotak-katikkan oleh musuh-musuh Islam yang sebenar tetapi bertopeng dengan Islam.

Please No Spam and junk, we will remove it !!