Thursday, January 28, 2010

Dua Peti Mati

Buah Karya : Adji Subela

Suara John, teman baikku, demikian bergetar ketika bertelepon kepadaku:
”Bung, Papaku meninggal tadi malam.”
”Terjadi juga beliau meninggal?” tanyaku. Tetapi aku lalu tersadar, bahwa itu sebuah pertanyaan yang benar-benar kurang ajar, tapi alasanku sangatlah kuat. Masalahnya, Papa John selama ini menderita sakit yang tak kunjung sembuh, dan tergolek di sebuah ruang perawatan sebuah rumah sakit sedemikian lamanya, sampai anak-anaknya sudah berputus-asa.
”Sorry John, maksudku beliau benar-benar wafat?”
”Betul, Bung,” jawab John terdengar lesu di dalam kepompong handset.
”Baiklah aku akan ke rumahmu.”
Sejam kemudian aku sudah sampai di rumah sahabatku itu. Kulihat jasad ayah John terbaring tenang-tenang saja, berpakaian rapi, memakai jas berwarna abu-abu kesukaannya dahulu. Wajahnya sinis. Ini yang terasa agak aneh bagiku.
Semasa hidupnya, beliau adalah orang yang sangat ramah, akan tetapi sangat kritis dan pengetahuannya sungguh luas sekali. Ia dididik di lingkungan orang-orang Belanda, sehingga disiplin menjadi nomer satu baginya. Ini amat berbeda dengan anak-anaknya. Kulihat tak satu pun dari mereka itu yang mewarisi kedisiplinan dan kebijaksanaan ayahanda mereka. Termasuk John tentunya. Tapi sahabatku itu – menurut pendapatku sendiri – agak lebih baik daripada abangnya.
Sebentar saja aku berdoa di dekat peti matinya. Selesai berdoa, pandanganku tertambat pada peti mati itu. Amat indah, terbuat dari kayu ulin, dan diukir menawan. Ada diukirkan nama almarhum di salah satu sisinya. Jelas ini pesanan khusus, bukan peti mati kodian.
”Itu abangku yang memesannya,” bisik John sambil menunjuk peti itu. Ia kelihatannya tahu apa yang berputar di rongga kepalaku.
ìYou tahu, si James itu congkak sekali wataknya. Sewaktu Papa baru masuk rumah sakit, eeeh...enggak tahunya dia sudah pesan peti kayak gini,” keluhnya.
”Tapi bagus ‘kan? Papamu pastilah senang,” hiburku.
”Sok tahu!”
Terus terang kuakui, ulah si James yang memesan peti mati pada saat ayahnya masih tergolek di rumah sakit, adalah tindakan yang tercela. Seolah-olah ia mengharap-harap agar ayahandanya itu cepat-cepat meninggal. Jangan-jangan, dia ingin menguasai seluruh, atau setidak-tidaknya sebagian besar warisan orang tuanya.
”Ah, paling-paling berapa sih Bung, harta Papa? Ia bukanlah orang yang kaya harta, tapi kaya hati dan pengalaman. Begitu juga almarhumah ibuku dulu. Orangnya sangat sederhana. Lagi pula sejak jauh-jauh hari James sudah menulis surat pernyataan di depan notaris keluarga kami, bahwa dia tak ingin mendapat bagian harta sepicis pun,” bantah John.
”Kelihatannya sih, James cuma mau pamer doang sama saudara-saudara kami. Kayaknya macam penegasan bahwa dia itu pengusaha sukses, paling kaya di antara kami, gitu, tau enggak?” sambung John lagi.
Ah, tak tahulah aku. Tapi jelas aku tak bisa berbohong, bahwa peti itu memang indah dan megah. Orang seperti almarhum pantas mendapatkannya. Sesuai.....
Beberapa waktu kemudian diadakan kebaktian, yang amat mengharukan, emosional, dan sungguh mencekam. Khotbah pendetanya begitu menggugah kalbu para pelayat, begitu mengharukan. Dan, memang, takkan ada kata-kata buruk untuk seseorang yang sudah terbujur terpisah antara badan dan nyawanya seperti itu. Lalu tiba-tiba saja, aku merasa sudah berada di akhirat, agak dekat ke neraka.
Kulihat hampir semua pelayat menangis sedih, tertelan perasaan masing-masing. Pun, penerangan rumah begitu suram, redup dan pengap. Aku merasai neraka semakin dekat padaku. Suasana menjadi beku, dan ketika peti indah itu hendak ditutup, petugas penguburan berteriak:
”Hilang! Hilang! Jasadnya hilang!” Wajahnya sangat pucat dan pandangan matanya nanar ke sana ke mari mencari kekuatan atas pernyataannya. Kami tentu saja terhenyak dan lantas berebut-rebutan menjenguk ke dalam peti. Hilang! Betul-betul hilang! Jasad pria bijaksana itu memang tidak ada di dalamnya! John mengaduk-aduk ruang dalamnya. Kosong!
”Kosong! Kosong! Enggak ada...Papa...Papa....Papa..,” John berteriak-teriak seolah-olah Papanya itu masih hidup. Tapi usahanya itu gagal. Papanya tetap tak ada di tempatnya semula. John lantas berlari keluar, seolah hendak memburu ayahnya yang mungkin saja sedang berlari atau berjalan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.
Semua pelayat terkesima, lalu terdengar jerit kengerian perempuan-perempuan, yang lalu bubar berlarian ke halaman. Kutahan dorongan hatiku untuk ikut berlari-lari seperti mereka, tapi akhirnya toh aku keluar dari ruangan itu pula.
Belum lagi kami sembuh dari kekacauan semacam itu, sebuah mini-truck berbak terbuka datang masuk ke halaman rumah keluarga John. Kendaraan itu memuat sebuah peti mati!
Kenek truk itu datang kepada salah seorang dari pelayat, yang kemudian lantas menunjuk-nunjuk ke arah John.
”Apa lagi ini?” tanya temanku itu.
”Kami mengantarkan peti mati ke alamat di sini, Oom,” tutur kenek itu dengan polos, tanpa mengetahui pengalaman ngeri kami. Kulihat wajah John menegang.
”Siapa yang pesan?” tanyanya setengah berteriak.
”Ada Opa-opa yang pakai jas abu-abu datang kepada tauke kami, pesan peti mati sederhana, lantas dia menyuruh mengantar ke sini.”
”Apa? Kapan orang itu pesan?
”Tadi Oom, kira-kira satu jam lewatlah.”
”Gila. Papa kami memang meninggal, tapi peti matinya sudah ada. Siapa yang mau bayar?” Gusar sekali si John.
”Sudah dibayar lunas kok,” jawab si kenek dengan suara dan wajah kepolosannya.
”Sudah taruh di situ. Jangan-jangan ini ulah si James cukimai itu!” John menyumpah sembari memandang abangnya dengan geram.
”James! Cukimai, permainan apa lagi sekarang? Kamu yang ada pesan peti mati satu lagi?” tanya John sengit.
ìTuangalah gila lu John. Peti di sana itu yang ada aku pesan,” jawab James setelah beberapa detik terlongong-longong, ”cukimai, siapa ada pesan lagi itu peti?”
ìTauk. Nih, harganya sejuta setengah dibayar cash!” teriak John sembari mengacungkan bon tunai. Demi mendengar jumlah itu, mendadak James terhenyak, wajahnya pucat pasi.
”Itu sama ama duit yang ada aku masukkan ke saku pantalon Papa!” James berteriak. John terkejut, memandang abangnya dengan heran, lalu matanya menjadi merah menyala. Pemuda itu berlari ke arah abangnya, lalu mencengkeram krah jasnya.
ìCukimai, bangsat, buat apa kau ada kasih itu duit ke saku Papa? Cukimai, cukimai!” Marah sekali John lantas hendak memukul wajah si abang.
”Sabar dong! Itu duit utangku dulu. Belum sempat aku pulangin Papa lantas meninggal jadi kuselipkan di saku pantalonnya. Aku menyesal John. Menyesal utangku belum terbayar,” tutur James dengan pasrah.
”Kalian berdua tolol-tolol semua. Apa hubungannya dengan Papa kalian?” tanyaku dengan perasaan jengkel.
”Lihat. Harganya sama dengan utang James. Ptttuiiiiih. Dasar babi tuh orang,” ujar John tanpa kutahu dialamatkan kepada siapa, kepada Papanya, ataukah kepada abangnya, sambil meludah ke tanah.
”Lantas kita apakan peti yang terakhir itu?” tanyaku.
”Biar ditaruh di sudut ruangan duka sana. Masa bodoh,” John bersungut-sungut sambil berjalan ke kamar duka. Tak lama kemudian, terdengar teriakan histeris John temanku itu. Suaranya benar-benar keras, melengking, dan kulihat ia berjingkrak-jingkrak seperti orang yang ketakutan melihat hantu. Kemudian....
”James! Papa ada lagi di sini, cepat..... cepaaaat....” Pekik temanku itu.
Sekali lagi, kami berlari-lari, kini menuju ke peti mati yang baru. Ya TUHAAAN!!
Jenazah Papa John sudah ada di dalam peti sederhana itu! Terbaring dengan wajah tenang, setenang malam di musim penghujan. Kembali para perempuan menjerit-jerit histeris.
”Sekarang siapa yang ada bermain-main????” kini ganti James yang berteriak. Ia memandang kepada John, sedangkan John memandang ke arahku. Aku sendiri? Tak memandang siapa-siapa, kecuali wajah Papa John yang tampak tenang dan ternyata ada sekeping senyum di sudut bibirnya.
”Au revoir, Oom..........,” bisikku dalam bahasa Prancis seperti yang selalu diucapkan almarhum bila aku berpamitan hendak pulang. ”Di sana akan ada pesta dansa waltz dan tango kesukaan Oom, dua tarian yang dibenci James dan John.”




Please No Spam and junk, we will remove it !!