Buah Karya : Adji Subela
Hotel itu tidaklah terlalu besar benar, sedang-sedang saja, letaknya di sisi selatan Sandakan, kota di pinggiran Laut Sulu yang penuh perompak. Di dalam hotel itu ada puluhan perompak yang cantik-cantik.
Sosok gedungnya yang muram menipu pandang orang, karena di dalamnya lampu-lampu redup berkelipan di sana-sini, dan masing-masing kamar menyetel berbagai-bagai lagu, tumpang-tindih seperti pasar malam yang dikompres menjadi satu di dalam gedung bertingkat tiga itu. Ketika kita berdiri di koridornya, yang muram dan penuh kepul asap rokok kretek, sinar lampu warna-warni diselingi kelebat-kelebat bayangan orang dari dalamnya, mengingatkan kita akan semacam moulin rouge. Rokok kretek! Di negeri jiran! Dan cekikikan menyembul ke sana ke mari. Dan cekikikan semacam itu sering kudengar di satu tempat di Tanah Abang, satu tempat di Bekasi dan satu tempat di Kebon Sayur, di Tanjung Priok dahulu, satu tempat di tengah kota Bandung dahulu, dan di Bangunrejo, Surabaya, kini.
Pekik-pekik erotis juga sama seperti yang sering kudengar di tempat-tempat yang kusebutkan tadi. Dan bahasa mereka sama seperti yang kudengar di tempat-tempat tadi. Dan lalu rayuan gombal dan dengusan palsunya juga sama. Ini Sabtu malam dan jalan di tengah kota mulai padat oleh taxi. Taxi-taxi yang menggelontor dari pinggiran kota, dari kebun-kebun, yang luas berhijauan, dan penuh dahaga cinta.
Centik-centik erotisme berpendaran melentik memuncrat berkelipan ditimpa sinar lampu warna-warni. Dan asap tembakau serta cengkih. Serta pula buih-buih alkohol. Lalu dijejal asap dadah. Kalau saja pemakai barang haram itu tertangkap, maka tali gantungan siap melingkari leher-leher mereka itu.
Tiba-tiba kulihat manusia-manusia, berjenis-jenis, kecil-besar, kuning-hitam, malu-malu dan terlalu berani, menghilang, plas! Semua ditelan keheningan kamar di tengah keberisikan lagu-lagu berhimpit-himpit, lalu terdengar orkestra pekik kecil-kecil dan lenguh terbenam dalam kamar-kamar kusam-buram. Kutarik nafas dalam-dalam dan otakku membeku.
Di sudut sana, ditingkahi sinar merah kekuningan dari dalam kamarnya, seorang perempuan berdiri terpaku, melipat tangan dan menopang dagunya dengan tenang. Heran. Dialah satu-satunya perempuan yang berada di luar kamar pada saat-saat pekan raya seperti itu! Sedangkan aku satu-satunya lelaki bodoh yang berada di luar kamar pengap. Ia melirik dan tentu saja aku tersenyum padanya. Ia lemparkan senyum tenang, lalu mata sayunya menghindar dari tatapanku dan ia kembali tercenung di depan kamarnya yang buram. Wajahnya, seolah telah kukenali, tapi aku lupa. Kaki-kakiku, secara kurang ajar, mengantarkanku kepadanya.
“Sendirian ya?” tanyaku.
“Iya.”
“Tak ada tamu?”
“Tak ada tamu.”
“Mau ditemani?”
Dia diam. Di koridor yang gelap suram itu, wajahnya membikin siluet yang menawan. Ia bukan perempuan jelek dan berwajah tidak murahan. Sinar kuning kemerahan yang menimpa wajahnya dari depan membikin profil indah. Rambutnya wangi, hidungnya sexy, dagunya sexy, dahinya sexy, atau mungkin otakku sudah mulai membusuk. Lagi-lagi, wajahnya, walau cuma sebagian kulihat, melayangkan ingatanku pada seseorang. Entah siapa, aku telah lupa.
“Kamu tampaknya tenang-tenang saja,” tanyaku lagi.
“Iya.”
“Apa pasal?”
“Ah, tak ada lah.”
ìBroken heart kah?”
Ia diam. Seperdelapan jam berikutnya ia baru mendesis bicara. Ceritanya klise, klise sekali seperti juga bualan di tempat-tempat yang kusebut tadi: Ia dikhianati seorang lelaki, setelah ia berpacaran, lantas ia bunting. Biasa sekali bukan? Dan ini bukan cerita hebat toh? Tapi ia melolos cincin dari jari manis tangan kirinya.
“Lihat, di sini ada inisial namaku dan nama dia,” pamernya. Katanya, lelaki itu anak seorang perwira menengah di Bandung. Setelah ia bunting, lalu dia melahirkan anak perempuan dan lalu laki-laki itu bersikukuh tetap tak bertanggungjawab. Itu sudah biasa sekali. Yang luar biasa, masih saja ada korban dari modus kejahatan yang sudah amat biasa tersebut, selama ratusan tahun belakangan ini.
Ia menunduk, dan wajahnya....ah...aku pernah atau bahkan sering melihatnya, tapi entah di mana. Otakku sudah beku oleh asap dan buih. Terus terang kuakui, suaranya lembut dan tidak cempreng seperti kawan-kawannya di sini maupun di tanah air. Parfumnya yang lembut merambati hidungku, urat syarafku, lalu masuk ke sel-sel otakku yang alot. Tapi di sana prosesnya begitu cepat. Impuls yang mampir di situ cepat diproses dengan software mesum yang kupunya dan menghasilkan output busuk: ia kugandeng masuk ke kamarnya. Sebuah radio transistor kecil nampak bertengger di dipannya, merintih-rintihkan sebuah lagu melankolik dari tanah air, yang sempat menyesaki hutan-hutan, sungai-sungai yang sepi di Sabah. Rengekan kerinduan akan tanah air yang ditelan sepinya belantara Borneo penggalan sebelah Utara.
Perempuan itu telah siap, lalu memandangku menunggu komando. Tapi, aduh, ampun.
Aku baru ingat sekarang! Wajahnya itu mirip sekali dengan Bu Lik-ku! Adik Ibuku yang bungsu!
“Ah, peduli amat. ‘Kan dia bukan Bu Lik-mu, goblok!” datang bisikan dari kuping kiriku.
“Ssst, jangan! Sedangkan kawin resmi pun kalau dengan perempuan yang mirip Ibu atau Bu Lik itu haram hukumnya. Apalagi ini kegiatan yang haram 24 karat. Inget, dong!” begitu bisikan dari kuping kanan.
“Goblok! Lihat, apa tega kamu melewatkan tubuh yang sintal itu?”
“Tapi dia mirip Bu Lik-ku! Bayangkan apa yang terjadi nanti?” sergahku.
“Tapi senyumnya? Lihat, manis ‘kan? Badannya sintal, padat berisi, hitam manis. Lembut dengan bibirnya yang tebal memendam gairah?”
ìOalah, ingat, dong!. Begitu kamu selesai bergulat, malaikat akan rampung pula menyatat kelakuan-kelakuanmu, dan tinggal merekomendasikan kamu masuk ke neraka. Panasnya bukan main. Nikmatnya cuma sebentar, tapi kamu akan tersiksa selama-lamanya. Tak imbang,” kuping kanan merayuku lagi.
“Ah, itu virtual, ini kenyataan! Lihat, bagaimana tanggungjawabmu terhadap makhluk tak berdaya yang menggelitiki gairah itu? Tegakah kamu menghempaskannya begitu saja? Dia itu punya harga diri. Martabatnya sebagai perempuan akan tercampakkan.Kalau kamu ajak masuk, dan kamu diamkan saja itu berarti penghinaan, dan penilaiannya kepadamu rendah sekali. Lelaki pengecut, tidak jantan, tak bertanggungjawab.”
Terus terang aku teramat bingung, sebentar aku bernafsu, dan pada detik berikutnya aku dicekik ketakutan. Antara sorga dunia dan neraka jahanam berkelebat bergantian begitu cepat, seolah tak memberiku waktu. Seakan permintaannya cuma satu: segera ke sorga atau ke neraka. Pun, sorga satu ini pun sebenarnya adalah neraka biar pun yang sedikit nikmat.
Perempuan – yang mirip Bu Lik – itu sabar menunggu. Pandangannya makin sayu dan mampu meluluhkan otot dan syarafku, luluh, luruh jadi gumpalan nafsu tertahan-tahan. Satu hentakan sedikit saja, lalu segala sesuatunya akan terjadi. Tapi api neraka itu menari-nari di depan mataku. Ia haus serta ingin menelan aku, walau jutaan orang telah dihangusinya. Tiba-tiba teringat olehku Bu Lik, adik Ibu, ketika ia menimangku: “Kamu harus jadi orang yang pintar dan bertaqwa cah bagus, jangan seperti Bapakmu.”
“Wah, tapi perempuan itu manis sekali, badannya sintal hitam manis, bibirnya memendam dendam, dan lagu-lagu yang diputarnya mengajak-ajak untuk segera menyelesaikan perkara rumit ini,” usik setan di kuping kiriku tadi.
“Tapi dia mirip Bu Lik! Tak tega aku!”
“Lihat suasana ruangan ini. Temaram.....wangi, dengar lagu romantik menyengat syaraf nafsu, dan buaian nafas harum pasrah seorang perempuan amatlah menggubal rasa nikmat.”
“Dengar.. suara sendu Titiek Sandhora...gelap terasa... sekelilingku....aahhhh..”
“Ah! Itu lagu jiplakan dari Perancis!’
ìLha tapi romantik kok! Ayo teruskan goblok! Jangan biarkan perempuan manis itu masuk angin kedinginan bugil seperti itu. Menyiksa namanya.”
“Tapi ia mirip Bu Lik! Mirip Bu Lik!”
“Asyyh, ah, sikat saja goblok!”
“Kalau begitu kamu saja! Mengapa menyuruhku?”
“Itu bukan hakku. Physically it’s impossible.”
“Ayolah Bang, bagaimana pula ni?” tiba-tiba suara merdu-mendesah perempuan itu membetotku.
Tiba-tiba api neraka yang berkobar di mukaku semakin dahsyat. Nampak wajah Ibu, Bu Lik, Bapak, adik-adikku yang masih kecil. Mereka menjerit-jerit memanggil namaku. Dadaku berdegup kencang sekali, dan kepalaku pusing luar biasa. “Ampun Bu Lik!” teriakku.
Aku sudah tak tahan lagi, lalu kubuka pintu kamar itu lalu aku berlari di sepanjang koridor diiringi jerit perempuan dari dalam kamar tadi. Perempuan itu kutinggal berdiri yang lalu terlongong tak tahu apa sebenarnya yang membuat lelaki bingung itu lari terpontang-panting. “Nampaknya satu kompi iblis telah mengubernya,” begitu mungkin katanya dalam hati. Di ujung koridor, aku terus berlari menuruni tangga kemudian sampai di lobby hotel kecil itu, lalu aku ditegur seorang anggota satuan pengaman: “Henti Pak Cik! Ada apakah?”
Aku tak peduli. Bayangan Bu Lik mengejarku terus dari belakang. Kurasa ia telah memegang sebatang alu untuk menumbuk kepalaku. Oh, jangan Bu Lik! Kepalaku masih berharga sekali kendati jarang kupakai!
Pelarianku terhenti ketika nafasku sudah hampir putus. Itu terjadi di pinggir pantai, di bangku sebuah kedai makan. Sambil tersengal-sengal kulihat ada apa gerangan di belakangku. Apakah perempuan itu berlari-lari mengikutiku? Tidak. Apakah security man mengejarku? Tidak. Bu Lik pun tak tampak olehku. Ahh, rasanya lega sekali. Berangsur-angsur dadaku tenang kembali, deburannya normal. Setidaknya itulah yang kurasai.
“Mau makan Pak Cik? Sila pesan.”
“Iya, apa saja asal enak.”
Tak lama kemudian pemilik kedai makan itu datang kembali membawa sepiring besar kare kepala ikan kakap dan sepiring nasi putih wangi pandan. Makan malamku nikmat sekali. Angin pantai pun terasa semakin sejuk. Aku telah diselamatkan oleh bayangan wajah Bu Lik. Mudah-mudahan wajah Bu Lik akan selalu membayangiku kalau aku pergi ke tempat pelesiran semacam itu. Aku sudah kapok. Jera. Itu kata hatiku waktu dulu.
Adegan terakhir yang kuingat malam itu hingga kini adalah – sebentar kemudian kepala ikan kakap yang besar itu telah tinggal kerangka atau tulang-tulangnya saja. Dan berkali-kali aku bersendawa kekenyangan. Lalu aku sudah lega, siap, esok kapalku akan angkat sauh menuju Kota Kinabalu.
Hotel itu tidaklah terlalu besar benar, sedang-sedang saja, letaknya di sisi selatan Sandakan, kota di pinggiran Laut Sulu yang penuh perompak. Di dalam hotel itu ada puluhan perompak yang cantik-cantik.
Sosok gedungnya yang muram menipu pandang orang, karena di dalamnya lampu-lampu redup berkelipan di sana-sini, dan masing-masing kamar menyetel berbagai-bagai lagu, tumpang-tindih seperti pasar malam yang dikompres menjadi satu di dalam gedung bertingkat tiga itu. Ketika kita berdiri di koridornya, yang muram dan penuh kepul asap rokok kretek, sinar lampu warna-warni diselingi kelebat-kelebat bayangan orang dari dalamnya, mengingatkan kita akan semacam moulin rouge. Rokok kretek! Di negeri jiran! Dan cekikikan menyembul ke sana ke mari. Dan cekikikan semacam itu sering kudengar di satu tempat di Tanah Abang, satu tempat di Bekasi dan satu tempat di Kebon Sayur, di Tanjung Priok dahulu, satu tempat di tengah kota Bandung dahulu, dan di Bangunrejo, Surabaya, kini.
Pekik-pekik erotis juga sama seperti yang sering kudengar di tempat-tempat yang kusebutkan tadi. Dan bahasa mereka sama seperti yang kudengar di tempat-tempat tadi. Dan lalu rayuan gombal dan dengusan palsunya juga sama. Ini Sabtu malam dan jalan di tengah kota mulai padat oleh taxi. Taxi-taxi yang menggelontor dari pinggiran kota, dari kebun-kebun, yang luas berhijauan, dan penuh dahaga cinta.
Centik-centik erotisme berpendaran melentik memuncrat berkelipan ditimpa sinar lampu warna-warni. Dan asap tembakau serta cengkih. Serta pula buih-buih alkohol. Lalu dijejal asap dadah. Kalau saja pemakai barang haram itu tertangkap, maka tali gantungan siap melingkari leher-leher mereka itu.
Tiba-tiba kulihat manusia-manusia, berjenis-jenis, kecil-besar, kuning-hitam, malu-malu dan terlalu berani, menghilang, plas! Semua ditelan keheningan kamar di tengah keberisikan lagu-lagu berhimpit-himpit, lalu terdengar orkestra pekik kecil-kecil dan lenguh terbenam dalam kamar-kamar kusam-buram. Kutarik nafas dalam-dalam dan otakku membeku.
Di sudut sana, ditingkahi sinar merah kekuningan dari dalam kamarnya, seorang perempuan berdiri terpaku, melipat tangan dan menopang dagunya dengan tenang. Heran. Dialah satu-satunya perempuan yang berada di luar kamar pada saat-saat pekan raya seperti itu! Sedangkan aku satu-satunya lelaki bodoh yang berada di luar kamar pengap. Ia melirik dan tentu saja aku tersenyum padanya. Ia lemparkan senyum tenang, lalu mata sayunya menghindar dari tatapanku dan ia kembali tercenung di depan kamarnya yang buram. Wajahnya, seolah telah kukenali, tapi aku lupa. Kaki-kakiku, secara kurang ajar, mengantarkanku kepadanya.
“Sendirian ya?” tanyaku.
“Iya.”
“Tak ada tamu?”
“Tak ada tamu.”
“Mau ditemani?”
Dia diam. Di koridor yang gelap suram itu, wajahnya membikin siluet yang menawan. Ia bukan perempuan jelek dan berwajah tidak murahan. Sinar kuning kemerahan yang menimpa wajahnya dari depan membikin profil indah. Rambutnya wangi, hidungnya sexy, dagunya sexy, dahinya sexy, atau mungkin otakku sudah mulai membusuk. Lagi-lagi, wajahnya, walau cuma sebagian kulihat, melayangkan ingatanku pada seseorang. Entah siapa, aku telah lupa.
“Kamu tampaknya tenang-tenang saja,” tanyaku lagi.
“Iya.”
“Apa pasal?”
“Ah, tak ada lah.”
ìBroken heart kah?”
Ia diam. Seperdelapan jam berikutnya ia baru mendesis bicara. Ceritanya klise, klise sekali seperti juga bualan di tempat-tempat yang kusebut tadi: Ia dikhianati seorang lelaki, setelah ia berpacaran, lantas ia bunting. Biasa sekali bukan? Dan ini bukan cerita hebat toh? Tapi ia melolos cincin dari jari manis tangan kirinya.
“Lihat, di sini ada inisial namaku dan nama dia,” pamernya. Katanya, lelaki itu anak seorang perwira menengah di Bandung. Setelah ia bunting, lalu dia melahirkan anak perempuan dan lalu laki-laki itu bersikukuh tetap tak bertanggungjawab. Itu sudah biasa sekali. Yang luar biasa, masih saja ada korban dari modus kejahatan yang sudah amat biasa tersebut, selama ratusan tahun belakangan ini.
Ia menunduk, dan wajahnya....ah...aku pernah atau bahkan sering melihatnya, tapi entah di mana. Otakku sudah beku oleh asap dan buih. Terus terang kuakui, suaranya lembut dan tidak cempreng seperti kawan-kawannya di sini maupun di tanah air. Parfumnya yang lembut merambati hidungku, urat syarafku, lalu masuk ke sel-sel otakku yang alot. Tapi di sana prosesnya begitu cepat. Impuls yang mampir di situ cepat diproses dengan software mesum yang kupunya dan menghasilkan output busuk: ia kugandeng masuk ke kamarnya. Sebuah radio transistor kecil nampak bertengger di dipannya, merintih-rintihkan sebuah lagu melankolik dari tanah air, yang sempat menyesaki hutan-hutan, sungai-sungai yang sepi di Sabah. Rengekan kerinduan akan tanah air yang ditelan sepinya belantara Borneo penggalan sebelah Utara.
Perempuan itu telah siap, lalu memandangku menunggu komando. Tapi, aduh, ampun.
Aku baru ingat sekarang! Wajahnya itu mirip sekali dengan Bu Lik-ku! Adik Ibuku yang bungsu!
“Ah, peduli amat. ‘Kan dia bukan Bu Lik-mu, goblok!” datang bisikan dari kuping kiriku.
“Ssst, jangan! Sedangkan kawin resmi pun kalau dengan perempuan yang mirip Ibu atau Bu Lik itu haram hukumnya. Apalagi ini kegiatan yang haram 24 karat. Inget, dong!” begitu bisikan dari kuping kanan.
“Goblok! Lihat, apa tega kamu melewatkan tubuh yang sintal itu?”
“Tapi dia mirip Bu Lik-ku! Bayangkan apa yang terjadi nanti?” sergahku.
“Tapi senyumnya? Lihat, manis ‘kan? Badannya sintal, padat berisi, hitam manis. Lembut dengan bibirnya yang tebal memendam gairah?”
ìOalah, ingat, dong!. Begitu kamu selesai bergulat, malaikat akan rampung pula menyatat kelakuan-kelakuanmu, dan tinggal merekomendasikan kamu masuk ke neraka. Panasnya bukan main. Nikmatnya cuma sebentar, tapi kamu akan tersiksa selama-lamanya. Tak imbang,” kuping kanan merayuku lagi.
“Ah, itu virtual, ini kenyataan! Lihat, bagaimana tanggungjawabmu terhadap makhluk tak berdaya yang menggelitiki gairah itu? Tegakah kamu menghempaskannya begitu saja? Dia itu punya harga diri. Martabatnya sebagai perempuan akan tercampakkan.Kalau kamu ajak masuk, dan kamu diamkan saja itu berarti penghinaan, dan penilaiannya kepadamu rendah sekali. Lelaki pengecut, tidak jantan, tak bertanggungjawab.”
Terus terang aku teramat bingung, sebentar aku bernafsu, dan pada detik berikutnya aku dicekik ketakutan. Antara sorga dunia dan neraka jahanam berkelebat bergantian begitu cepat, seolah tak memberiku waktu. Seakan permintaannya cuma satu: segera ke sorga atau ke neraka. Pun, sorga satu ini pun sebenarnya adalah neraka biar pun yang sedikit nikmat.
Perempuan – yang mirip Bu Lik – itu sabar menunggu. Pandangannya makin sayu dan mampu meluluhkan otot dan syarafku, luluh, luruh jadi gumpalan nafsu tertahan-tahan. Satu hentakan sedikit saja, lalu segala sesuatunya akan terjadi. Tapi api neraka itu menari-nari di depan mataku. Ia haus serta ingin menelan aku, walau jutaan orang telah dihangusinya. Tiba-tiba teringat olehku Bu Lik, adik Ibu, ketika ia menimangku: “Kamu harus jadi orang yang pintar dan bertaqwa cah bagus, jangan seperti Bapakmu.”
“Wah, tapi perempuan itu manis sekali, badannya sintal hitam manis, bibirnya memendam dendam, dan lagu-lagu yang diputarnya mengajak-ajak untuk segera menyelesaikan perkara rumit ini,” usik setan di kuping kiriku tadi.
“Tapi dia mirip Bu Lik! Tak tega aku!”
“Lihat suasana ruangan ini. Temaram.....wangi, dengar lagu romantik menyengat syaraf nafsu, dan buaian nafas harum pasrah seorang perempuan amatlah menggubal rasa nikmat.”
“Dengar.. suara sendu Titiek Sandhora...gelap terasa... sekelilingku....aahhhh..”
“Ah! Itu lagu jiplakan dari Perancis!’
ìLha tapi romantik kok! Ayo teruskan goblok! Jangan biarkan perempuan manis itu masuk angin kedinginan bugil seperti itu. Menyiksa namanya.”
“Tapi ia mirip Bu Lik! Mirip Bu Lik!”
“Asyyh, ah, sikat saja goblok!”
“Kalau begitu kamu saja! Mengapa menyuruhku?”
“Itu bukan hakku. Physically it’s impossible.”
“Ayolah Bang, bagaimana pula ni?” tiba-tiba suara merdu-mendesah perempuan itu membetotku.
Tiba-tiba api neraka yang berkobar di mukaku semakin dahsyat. Nampak wajah Ibu, Bu Lik, Bapak, adik-adikku yang masih kecil. Mereka menjerit-jerit memanggil namaku. Dadaku berdegup kencang sekali, dan kepalaku pusing luar biasa. “Ampun Bu Lik!” teriakku.
Aku sudah tak tahan lagi, lalu kubuka pintu kamar itu lalu aku berlari di sepanjang koridor diiringi jerit perempuan dari dalam kamar tadi. Perempuan itu kutinggal berdiri yang lalu terlongong tak tahu apa sebenarnya yang membuat lelaki bingung itu lari terpontang-panting. “Nampaknya satu kompi iblis telah mengubernya,” begitu mungkin katanya dalam hati. Di ujung koridor, aku terus berlari menuruni tangga kemudian sampai di lobby hotel kecil itu, lalu aku ditegur seorang anggota satuan pengaman: “Henti Pak Cik! Ada apakah?”
Aku tak peduli. Bayangan Bu Lik mengejarku terus dari belakang. Kurasa ia telah memegang sebatang alu untuk menumbuk kepalaku. Oh, jangan Bu Lik! Kepalaku masih berharga sekali kendati jarang kupakai!
Pelarianku terhenti ketika nafasku sudah hampir putus. Itu terjadi di pinggir pantai, di bangku sebuah kedai makan. Sambil tersengal-sengal kulihat ada apa gerangan di belakangku. Apakah perempuan itu berlari-lari mengikutiku? Tidak. Apakah security man mengejarku? Tidak. Bu Lik pun tak tampak olehku. Ahh, rasanya lega sekali. Berangsur-angsur dadaku tenang kembali, deburannya normal. Setidaknya itulah yang kurasai.
“Mau makan Pak Cik? Sila pesan.”
“Iya, apa saja asal enak.”
Tak lama kemudian pemilik kedai makan itu datang kembali membawa sepiring besar kare kepala ikan kakap dan sepiring nasi putih wangi pandan. Makan malamku nikmat sekali. Angin pantai pun terasa semakin sejuk. Aku telah diselamatkan oleh bayangan wajah Bu Lik. Mudah-mudahan wajah Bu Lik akan selalu membayangiku kalau aku pergi ke tempat pelesiran semacam itu. Aku sudah kapok. Jera. Itu kata hatiku waktu dulu.
Adegan terakhir yang kuingat malam itu hingga kini adalah – sebentar kemudian kepala ikan kakap yang besar itu telah tinggal kerangka atau tulang-tulangnya saja. Dan berkali-kali aku bersendawa kekenyangan. Lalu aku sudah lega, siap, esok kapalku akan angkat sauh menuju Kota Kinabalu.
Please No Spam and junk, we will remove it !!