Nampaknya tidaklah salah bahwa sebuah kota memerlukan memiliki sebuah Hari Jadi. Tanpa Hari Jadi, seolah-olah sebuah kota menjadi anak haram yang ahistoris. Hari Jadi dipentingkan sebagai penanda, suatu monumen sejarah, yang dapat diperingati setiap tahun oleh warga kota. Dan itu berarti, harusdilakukan penelusuran jauh ke belakang untuk menemukan asal usul keberadaan suatu daerah, yang dapat dimulai dari menelisik berbagai macam peninggalan bersejarah. Dan berbeda dengan Hari Jadi seorang anak manusia (yang jelas kedua orang tuanya), maka mendapatkan kepastian mengenai Hari Jadi sebuah kota lebih ditentukan oleh asumsi manusia atas dasar dokumen-dokumen sejarah yang mendukungnya. Meskipun, kadang-kadang keputusan tersebut cenderung subyektif lantaran ingin mendapakan fakta sejarah yang heroik, sehingga dapat dibanggakan sepanjang masa.
DASAR PENENTUAN
Meneliti sejarah daerah, apalagi jika dikaitkan dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya, diperlukan pendekatan histories, dengan menempatkan daerah itu dalam konteks ruang dan waktu. Hal itu berarti bahwa sejarah Kabupaten Nganjukdewasa ini, hendaklah dipahami sebagai proses yang berkesinambungan dalam setting dimensi ruang dan waktu dari suatu daerah, mulai dari suatu saat sepanjang diketahui dari sumber tertulis yang kronologis. Selama rentang waktu itulah dapat dilacak perubahan demi perubahan, baik yang menyangkut nama, kedudukan (status) peranan yang dimainkan dalam pemerintahan, aktivitas ekonomi maupun kebudayaan.
Sepanjang yang dapat diketahui dari sumber sejarah di wilayah yang kemudian hari menjadi Kabupaten Nganjuk, menunjukkan bahwa kawasan lembah timur Gunung Wilis ini memiliki kaitan sejarah dengan pemerintahan dan kebudayaa Kasunanan Surakarta sebelum abad XIX (Peter Carey, 1986). Adalah sebutan yang telah berubah ucapannya dari Watek yang sudah ada sejak abad X, yang bernama Anjuk Ladang (Brandes, 1913:84-89); L.C.Damais, 1952 : 60-1).
Pada masa pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1824) wilayah Nganjuk masih berkedudukan sebagai daerah Mancanegara bagian timur berada di bawah penilikan Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta. Sementara itu daerah Berbek, Godean, Kertosono, telah dikuasai Belanda. (Peter Carey, 1986 : lampiran peta). Hal itu bertepatan dengan berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1930, Bupati Nganjuk Brotodikoro melepaskan diri dari ikatan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, dan ikut menandatangani pernyataan pengakuan kekuasaan terhadap pemerintah Belanda di Pendopo Sepreh, bersama-sama dengan 22 Bupati dari daerah Madiun, Kediri dan Blitar. (Pieter Merkus, 1983 : Lewick van Pabst, 1830).
Pada perempatan akhir abad XIX, dibangun jalan kereta api (spoor staat) antara Surabya-Solo, dan kota Nganjuk sebagai distrik ditingkatkan kedudukannya menjadi ibukota Kabupaten Nganjuk pada tahun 1883. Sementara itu Berbek sebagai ibukota Kabupaten yang lama dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan transportasi modern. Pemindahan ibukota itu dikukuhkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 30 Mei 1885. Sejak itu kota Nganjuk menjaid ibukota pemerintahan kabupaten hingga sekarang.
Dalam rentang waktu lebih dari satu abad itu, berbagai peristiwa telah terjadi dan dialami silih berganti dari generasi satu ke generasi berikutnya. Penduduk Kabupaten Nganjuk ikut bergerak bersama pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pemerintahan pendudukan tentara Jepang, dan memasuki gerbang kemerdekaan hingga masa pembangunan pada era pemerintahan berikutnya.
Ibarat menempuh suatu perjalanan jauh, suatu masyarakat didaerah ini istirahat sejenak sambil berpaling kemasa lampau, untuk menyusuri tapak sejarah, menemukan titik pangkal sebagai awal perjalanan sejarah Kabupaten Nganjuk ini. Kegalauan karena belum tercapai kesepakatan mengenai Hari Jadi Nganjuk, menunjukkan pertanda adanya kesadaran sejarah, sebagai suatu kebutuhan rohaniah yang berfungsi inspiratif serta menumbuhkan rasa kebangsaan.
Dari berbagai data sejarah yang ada, diperlukan alas an-alasan kuat untuk menentukan Hari Jadi Nganjuk, sehingga dapat mengungkapkan jati diri serta menjadi ilham dalam membangun daerah ini, dan sekaligus dapat menjadi kebanggaan masyarakat di kemudian hari. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dijadikan dasar penentuan Hari Jadi tersebut, yaitu :
Pertama, adanya bukti tertulis paling tua yang menunjukkan hubungan histories arkeologis dengan toponimi Nganjuk didaerah dalam perkembangan sejarahnya secara kontinyu menjadi Kabupaten Nganjuk. Sumber tertulis itu merupakan sumber utama (primer) dan sejman, asli, gayut dan kredibel.
Kedua, sumber tertulis berupa prasasti tertua yang menyebutkan sejumlah toponimi (nama tempat) yang dapat dilacak kembali didaerah yang dikemudian hari berkembang menjadi wilayah administrative Kabupaten Nganjuk. Dalam kategori ini termasuk prasasti atau sumber tertulis lain walaupun tidak memuat data yang berkaitan langsung dengan topinimi Nganjuk, namun terdapat didaerah Kabupaten Nganjuk sekarang.
Ketiga, sumber tertulis dan lisan yang berisi ingatan kolektif penduduk Kabupaten Nganjuk, yang secara turun temurun dilestarian dalam bentuk mitos, legenda danscerita rakyat (folklor) sepanjang mengenai asal-usul nama daerah, seorang tokok cikal bakal dalam pemerintahan, kemasyarakatan serta kebudayaan yang dapat dibandingkan kebenarannya dengan sumber lain.
Keempat, bukti yang berupa bangunan, monumen, patung atau artefak lain yang dijumpai di daerah Nganjuk yang secara kontinyu dapat dilacak sejarahnya dari masa lalu yang tertua.
Kelima, sumber berupa dokumen tertua sepanjang menyangkut sejarah asal-usul pemerintahan daerah Kabupaten Nganjuk, yang mengandung nilai sejarah desa, peristiwa kepahlawanan, serta hal-hal yang dapat menumbuhkan kebanggaan masyarakat.
Dasar penetapan Hari Jadi sebuah kota atau pemerintahan sebagai institusi, hendaklah memuat momentum yang mengandung nilai inspiratif, edukatif, serta memberikan kebanggaan bagi masyarakatnya. Disamping itu diharapkan dapat memberikan sumbangan (kontribusi) bagi terjadinya proses intregitas masyarakat (persatuan dan kesatuan), peningkatan wawasan kesejahteraan demi masa kini dan masa depan (future oriented).
Atas dasar pemikiran diatas, dalam buku ini akan dibahas berbagai sumber epigrafis dan arkeologis di wilayah yang dalam perkembangan sejarahnya menjadi Kabupaten Nganjuk. Perhatian utama dipusatkan pada kajian sumber-sumber tertulis paling tua yang dapat memberi keterangan awal pertumbuhan pemerintahan dan kebudayaan dalam arti luas. Dari kajian sumber histories-arkeologis itu, dapat disepakati Hari Jadi Nganjuk, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
KAJIAN PUSTAKA
Publikasi tertua tentang pemerintahan wilayah Nganjuk dan sekitarnya, berasal dari sejumlah laporan resmi pegawai VOC yang berkaitan dengan daerah Mancanegara bagian timur, baik dari kerajaan Mataram abad XVII, maupun Kesultanan Yogyakarta dari abad XVIII (B.J.O.Schrieke, 1955 ; II; H.J.de Graaf, 1958). Daerah Kertosono sebagai wilayah Mancanegara Kesultanan Jogyakarta bagian timur antara tahun 1808-1825, merupakan salah satu gerbang tol yang penting bagi perdagangan candu serta sejumlah pajak tetap lainnya (Peter Carey, 1984).
Dari peta yang berasal sekitar tahun 1811, Nganjuk masih merupakan daerah mancanegara Surakarta, sedangkan Berbek, Godean dan Kertosono telah dikuasai pemerintah Belanda. Demikian pula tulisan-tulisan berupa rahasia dari para Residen atau Asisten Residen, sejak tahun 1830, telah banyak memberi keterangan penting tentang pemerintahan daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Nganjuk (Kolonial Archief; 1830; 1866; 1878; 1883).
Penerbitan khusus tentang sumber epigrafi yang memuat antara lain prasasti yang terdapat di daerah Kabupaten Nganjuk sekarang terdapat dalam kumpulan prasasti yang memuat trankripsi itu, ternyata banyak kesalahan pembacaan angka tahun serta unsure kalendriknya sehingga perlu diedit ulang. Koreksi terhadap karya Brandes antara lain dilakukan oleh L.C.Damais (Damais, 1950;c1952; 1955) ditemukan di daerah Nganjuk (berbek).
Sebuah artikel penting yang sedikit menyinggung sejarah Nganjuk dari abad X, disampaikan de Casparis dalam pidato inagurasinya di Malang tahun 1958. (J.G.de Casparis, 1958). Pendapatnya tentang prasasti di desa Candirejo banyak dikutip untuk menjelaskan peranan penting Maharaja Pu Sindok yang berkaitan dengan sejarah paling tua dari daerah Nganjuk.
SUMBER EPIGRAFIS, IKONOGRAFIS DAN ARTEFAKTUAL
Sejauh yang dapat diketahui, ada sejumlah keterangan tertulis yang dapat dipergunakan sebagai sumber untuk mengetahui sejarah daerah ini pada saat yang paling awal. Sumber tertua itu berupa prasasti dari masa pemerintahan Raja Sindok, yang mulai naik tahta pada tahun 929-948 Masehi. Pusat pemerintahannya terletak di Watugaluh, yang diduga terletak antara Gunung Wilis dengan Gunung Semeru. Dari sekita 20 prasastinya itu, tersebut di daerah yang membentang dari Kabupaten Malang di sebelah timur, hingga Kabupaten Nganjuk di sebelah barat, dari daerah Kabupaten Jombang membentang dari utara ke selatan sampai Kecamatan Turen Kabupaten Malang. Hingga kini ada tiga buah prasasti batu yang pernah ditemukan didaerah Nganjuk dan Kertosono. Secara kronologis prasasti itu adalah :
1. Prasasti Kinawe
Prasasti Tanjung Kalang dari daerah Berbek ini, untuk pertama kalinya dilaporkan oleh Hoepermans dalam Hindoeoudheiden van Java (1864-1867). Selanjutnya dicatat dalam Notulen tahun 1889 dan dibahas oleh Roffaer, dan diberi kode D.66) Rouffaer, 1909). Prasasti yang terdiri dari 13 baris itu, berasal dari tahun saka 849, dikeluarkan oleh seorang Pejabat tinggi Rake Gunungan Dyah Muatan, bersama ibunya yang bernama Dyah Bingah. Di dalamnya juga menyebut nama Raja Wawa, serta nama pejabat tinggi rakriyan Mapatih Mpu Sindok Isana Wikrama. (Brandes, 1913:49). Berdasarkan nama desa yang disebut dalam prasasti, piagam yang dikeluarkan bertepatan dengan tahun Masehi 28 Nopember 928 ini, disebut prasasti Kinawe (Damais, 1952 : 55; 1955 : 53-54).
Prasasti ini meresmikan desa (wanua) Kinawe watek Kadangan, dengan hak Sima sebagai desa yang dibebaskan dari pembayaran kepada raja. Berdasarkan unsure penanggalannya, prasasti ini dikeluarkan bertepatan dengan hari pekan Sadwara, Warukung (hari ketiga), Wagai hari Pancawara, Wrhaspati hari ke 5 Saptawara. Dapat disimpulkan bahwa Prasasti Kinawe dari desa Tanjungkalang ini dikeluarkan pada hari Kamis Wage tahun 928 Masehi atau secara lengkap bertepatan dengan hari : Kamis Wage bulan November 928.
2. Prasati Hering
Prasasti dari desa Kujon Manis, Warujayeng ini ditemukan dan dilaporkan pertama kali pada tahun 1869. Menurut pembacaan Brandes prasasti ini dikeluarkan oleh Raja Sindok pada tahun Saka 859 (Brandes, 1886 : 146; 1913 : 89-94). Sesuai dengan nama desa yang disebut didalamnya, yait Hering watek (desa besar) Marganung, oleh karena itu prasasti ini juga disebut Prasasti Hering.
Berdasarkan unsur penanggalannya, Damais berpendapat prasasti itu dikeluarkan pada tahun Saka 856, yang bertepatan dengan tanggal 22 Mei 934 Masehi atau pada hari Kamis Wage, 22 Mei 934 (Damais, 1952 : 60-61; 1955 : 182). Di dalam prasasti ini Pu Sendok disebut dengan gelar : Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa. Gelar itu hanya menyebutkan Sri Maharaja, tanpa tambahan gelar jabatan Rakai Hino, Halu, Srimahamantri dalam prasastinya yang lebih tua maupun dari masa kemudian (Damais: 1952: 56-63).
Maklumat dalam prasasti ini cukup panjang, terdiri atas 35 baris di bagian muka, di bagian belakang mulai dari baris 11 hingga baris 38, bagian samping kiri 45 baris, dan samping kanan 47 baris. Isinya antara lain tentang jual beli tanah sawah. Juga menyebutkan para saksi yang terdiri dari pejabat kerajaan hingga pejabat tingkat desa.
3. Prasasti Anjuk Ladang
Prasasti Anjuk Ladang berbentuk batu (Linggo Pala), sebenarnya bernama Prasasti Candi Lor. Diberi nama demikian karena prasasti tersebut diketemukan di sebuah situs bernama Candi Lor, terletak di desa Candirejo, kurang lebih empat kilometer di sebelah selatan kota Nganjuk, tetapi disebelah barat jalan raya yang menghubungkan Nganjuk-Kediri. Nama Prasasti Anjuk Ladang dipakai karena dalam prasasti itu disebut toponimi (nama tempat) Anjuk Ladang yang dianggap sebagai asal-usul nama Nganjuk sekarang.
Laporan pertama tentang reruntuhan Candi Lor yang oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Candi Batu (karena terbuat dari bahan batu bata) dilakukan pada masa kekuasaan Letnan Gubernur Thomas Stanford raffles (berkuasa pada tahun 1811-1816 M). Untuk kepentingan penyelamatan dan penelitian prasasti Anjuk Ladang ini kemudian dipindahkan tempatnya ke halaman kediaman Residen Kediri. Karena dianggap mempunyai nilai yang sangat penting akhirnya prasasti ini diangkat dan disimpan di Museum Pusat Jakarta, sebagai koleksi benda purbakala dan diberi kode D.59. Guritan aksara yang dipergunakan pada Prasasti Anjuk Ladang adalah abjad Jawa kuno dan mempergunakan bahasa Jawa kuno pula. Karena selama ditempat aslinya kurang terpelihara, maka sebagian tulisan angka tahun prasasti ABKLATSCH yang dibuat untuk memudahkan pembacaan prasasti juga kurang memberika hasil yang memuaskan.
Transkripsi (alih abjad) Prasasti Anjuk Ladang dibuat oleh J.L.A. Brandes tahun 1887 (?) dan dimuat dalam buku Oud Javansche Oorkonden (kumpulan prasasti berbahasa Jawa Kuno) yang diterbitkan oleh N.J.Krom pada tahun 1913. Sedangkan transliterasi (alih bahasa, terjemahan) secara lengkap sampai sekarang belum pernah dilakukan. Para ahli yang meneliti Prasasti Anjuk Ladang pada umumnya hanya membahas bagian-bagian tertentu, atau membicarakan garis besar isinya saja. Prasasti ini memuat tulisan pda bagian depan (Recto) sebanyak 49 baris dan bagian belakang (Verso) sebanyak 14 baris. Walaupun keadaan (tulisan) Prasasti Anjuk Ladang sebagian rusak, tetapi dengan membandingkan prasasti tersebut dengan prasasti-prasasti Sri Maharaja Pu Sindok yang lain (jumlahnya kurang lebih 30 buah), Prasasti Anjuk Ladang dapat direkonstruksi dan sebagian besar isinya dapat diketahui.
Skema struktur Prasasti Anjuk Ladang secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Kalendris, unsure penanggalan.
2. Raja yang memerintahkan pembuatan prasasti yaitu Sri Maharaja Pu Sindok Isana Wikrama Dharmmotunggadewa.
3. Birokrasi, system dan struktur pejabat pemerintahan terutama pejabat yang dilibatkan dalam pembuatan prasasti, mulai dari pejabat tinggi atau pejabat Pemerintah Pusat, pejabat menengah sampai pejabat tingkat rendah yaitu pejabat desa.
4. Sambandha, alas an (latar belakang) pembuatan prasasti.
5. Mangilala dwryhaji.
Yaitu pejabat-pejabat pemungut (penarik) pajak yang sejak dikeluarkannya prasasti tidak lagi diperkenankan memasuki desa yang telah dijadikan desa suci (sacral) atau desa otonom (perdikan) bebas pajak dan disebut Sima Swatantra. Para pemungut pajak tersebut jumlahnya cukup banyak, dalam Prasasti Anjuk Ladang disebutkan lebih dari 60 (enam puluh) pejabat, diantaranya yang terkenal adalah : Pangkur, Tawan, Tirip.
4. Pasak-pasak
Yaitu hadiah atau persembahan yang disampaikan oleh sekelompok orang yang memperoleh anugrah dari Sang Maharaja (dalam hubungannya dengan pemberian perdikan atau status otonom, bebas pajak desa Anjuk Ladang) kepada pejabat-pejabat pemerintahan yang hadir dalam upacara. Dalam Prasasti Anjuk Ladang, jumlah pejabat penerima pasak ada 43 orang. Pasak-pasak itu berujud emas dalam berbagai ukuran/satuan dan pakaian. Besar kecilnya pasak-pasak disesuaikan dengan tinggi rendahnya pejabat yang menerima.
5. Upacara Ritual
Yaitu upacara penetapan Anjuk Ladang sebagai Desa Perdikan Sima Swatantra yang dilakukan dengan melaksanakan seperangkat upacara suci (ritual). Upacara ini melibatkan sejumlah petugas, alat-alat, dan barang-barang sesaji. Upacara tersebut disebut Manasuk Sima. Benda-benda sesaji dan alat-alat yang dipergunakan antara lain: Telur, ayam, kepala kerbau, alat-alat dapur, kalumpung dan lain-lain. Sedangkan petugas upacara disebut Madukur.
6. Sapatha atau Kutukan
Sebagai upacara penutup adalah kutukan atau sumpah serapah bagi siapa saja yang melanggar atau tidak mematuhi isi prasasti, serta doa keselamatan dan kesejahteraan bagi yang mematuhinya. Kutukan itu diungkapkan dalam berbagai pernyataan yang menyeramkan dan mengerikan. Misalnya : Semoga dikoyak-koyak badannya oleh para Desa, dicaplok harimau bila masuk hutan, dimakan buaya bila mandi di sungai, disambar petir bila hujan, dipathuk ular berbisa, disiksa Dewa Maut, dimasukkan dalam bejana penyiksaan (tamragumukha) di neraka nanti bila sudah mati.
Seperti halnya prasasti Hering, angka tahun yang dipahatkan sudah aus, dan angka yang masih cukup jelas menunjukkan angka 8 diikuti dua angka yang sudah kabur. Brandes membacanya 8 (5) 7 Saka (Brandes, 1913 : 84). Dikemudian hari bacaan itu diragukan ketepatannya oleh L.C. Damais, dan menurut penelitiannya angka tersebut haruslah dibaca 859 Saka (Damais, 1952: 60; 1955 : 156-158).
Walaupun unsure penanggalannya sudah aus, ada unsure lain yang dapat membantu pemecahannya, karena prasasti itu memuat nama raja yang mengeluarkannya, yaitu Pu Sindok. Sebagaimana prasasti Sindok di daerah Nganjuk yang lain, maklumatnya ditulis pada bagian muka dan belakang prasasti. Di bagian muka (recto) terdiri atas 49 baris, antara baris kelima sampai baris kedelapan sudah sangat aus, sehingga tidak terbaca lagi. Mulai awal baris kedua memuat unsure kalendriknya juga tidak terbaca karena keasusan hurufnya. Di bagian belakang (Verso) segaris dengan baris 23 berakhir pada baris ke-36, sebagai bagian yang memuat harapan agar yang dituliskan dalam prasasti ini, dipatuhi hingga akhir zaman.
Prasasti Candi Lor ini, juga dikenal dengan nama Prasasti Anjuk Ladang, menurut nama desa atau satuan wilayah yang disebutkan berkali-kali, dalam kaitan maksud pengeluaran prasasti tersebut (Sambandha). Berikut ini kami kutipkan bagian penting yang memuat unsur penanggalannya, raja serta para pejabat tinggi yang mendapat anugerah kedudukan sebagai Swantantra, dengan hak Sima. Menurut bacaan Brandes yang telah dibetulkan oleh Damais, sebagai berikut :
1. // swasti sakawarsatita 8 - caitramasa tithi dwadasi krsna paksa.ha--,--wa
2. ra . aisyanyastha -- -- -- satabhisanaaksatra. Barunadewata . brahmayoga. Kolawakarana irikadiwa.
3. sa ny ajna sri mharaja pu sindok sri isahawikrama dharmmotunggadewa tinadah rakryan mapinghai kalih rakai
4. hinmo pu sahasra rakai wka pu baliswara umingsor I rakai kanuruhan pu da kumonakan ikanang lmah sawah kakatikan
5. ...... sususkan ..... marpanakan I bhatar I sang hyang prasada kabhaktyan I dharma sangat anjuk lading pu ki -- -- (Damais, 1955 : 156-157)
6. .............. Sri maharaja I sri jayamrata ........
........ Sri maharaja bhatara....... sima pumpunana
7. ......... pratidina mangkana.................. sri maha raja ....... rikanang sawah kakatikan........
8. ...........n I bhatara I sang hyang I sang hyang prasada kabhaktyan I sri jayamerta mari ta yan lmah sawah kakatika
9. n iyanjukladang tutugani tanda sambandha ikanang rama iyanjukladang tutugani tanda kanugrahan de sri maharaja.............manglaga..( Brandes, 1913 : 84-85)
Dari kutipan sembilan baris tersebut diatas, akan dibahas beberapa data terpenting yang berhubungan dengan nama Nganjuk, serta data penanggalan tertua yang berkenaan dengan asal usul nama Nganjuk, atau sejarah tertua desa yang dalam perjalanan sejarahnya menjadi nama satuan wilayah administrastif Kabupaten Nganjuk sekarang.
Dari kutipan sembilan baris diatas, pertama, dapat diketahui nama raja serta para pejabat tinggi yang diperintah untuk melaksanakan keputusan raja, dalam kaitan maksud dikeluarkannya prasasti itu. Kedua, unsure penanggalan yang dapat dijadikan dasar sebagai bukti serta pendapat yang berhubungan dengan arti prasasti itu bagi sejarah daerah yang kelak menjadi Kabupaten Nganjuk.
1. Prasasti Anjuk Ladang ini dikeluarkan oleh seorang raja yaitu Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmo-tunggadewa. Pejabat tinggi kerajaan yang menerima perintah disebutkan Rakai Hino Pu Sahasra dan rakai Wka Pu Baliswara. Perintah itu selanjutnya diteruskan kepada Rakai Kanuruhan Pu Da. Data tersebut juga tercantum dalam prasasti Hering tahun 856 Saka atau 934 Masehi, tanpa perbedaan sedikitpun.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa ada keistimewaan dari gelar raja Sindok yang dituliskan dalam prasasti yang ditempatkan di daerah Nganjuk, dibandingkan dengan prasasti ditempat lain dari masa yang lebih tua maupun dari zaman yang lebih muda.
Memang gelar Pu Sindok sebagai kepala negara dan kepala wilayah ditulis dengan berbagai sebutan yang tidak sama, sehingga menimbulkan kesan tidak konsisten. Ada kalanya ia disebutkan bersama dengan permaisurinya seperti dalam prasasti Cunggrang II tahun 851 Saka, Prasasti Geweg dari daerah Jombang tahun 855 Saka, walaupun angka tahunnya mungkin sekali 10 tahun lebih tua dari angka tahun yang tertulis di piagamnya. (L.C. Damais, 1952 : 58-59). Sebagian besar prasasti yang dikeluarkannya, mencantumkan gelar jabatan rakai Halu, rakai Hino bahkan rakryan Mapatih. Demikian pula nama diri sang raja sering ditulis dengan nama yang berbeda kecuali namanya sebagai wamsakarta atau pendiri dinasti, yaitu Sri Isanawikrama.
2. Unsur penanggalan yang ada kaitannya dengan Prasasti Anjuk Ladang, memang terdapat dua versi yang berbeda, khususnya tentang angka tahun. Dr.Brandes membacanya 857 Saka, Suklapaksa atau paro terang. (Brandes, 1913 : 84). Hasil bacaannya itu kemudian dikoreksi oleh L.C.Damais, bahwa Prasasti Anjuk Ladang dikeluarkan pada tahun 859 Saka bertepatan dengan Krsnapaksa. Ia juga berhasil menemukan unsure hari pekan (wara) yaitu (HA) riyang, dalam konteks tanggal 12 bulan Caitra. Dalam hal ini kedua pakar itu tidak berbeda pendapat, kecuali yang menyangkut saat siklus hari edar bulan antara Suklapaksa dan Krsnapaksa.
Dengan membandingkan seluruh prasasti semasa pemerintahan Pu Sindok yang dikeluarkan pada bulan Caitra Sukla tanggal 1 dan tanggal 12, dalam padanannya dengan tarikh Masehi, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 857 Saka bersamaan dengan tanggal 8 Maret 935 Masehi. Pda tanggal 12 Krsnpaksa bulan Caitra, bertepatan dengan hari HA KA SU 3 April 935 atau tanggal WU U SA. Sementara itu tanggal 1 Sukla bulan Caitra tahun 859 Saka, jatuh pda tanggal 10 April 937 Masehi, dengan hari pekan HA PO SO atau WU WA ANG. Dalam Prasasti Anjuk Ladang itu unsure hari pekannya terbaca Ha atau Hari yang dalam pekan Sadwara, atas dasar data itu bersesuaian dengan PO atau Pon pekan Saptawara, serta bertepatan dengan hari SO atau Soma pekan Saptawara. Dengan demikian berdasarkan data penanggalan yang tercantum pada Prasasti Anjuk Ladang yaitu tanggal 12 bulan Caitra dengan hari pekan Hari yang jika tahunnya dibaca 857 Saka menurut Brandes, terdapat ketidaksesuaian antara unsure hari pekannya antara Sadwara, Pancawara dan Saptawara.
Oleh karena itu dengan menggunakan rumus perhitungan yang disusun oleh L.C.Damais, hari pertama tahun Saka 859, menurut siklus Wuku dengan system hari-hari pertama dimulai hari Tu = Tunglai Sadwara, PA = Pahing Pancawara, dan A = Aditya Saptawara, maka hari pertama tahun 937, jatuh pada hari kedua sesuai dengan Ha Sadwara, atau PO Pancawara, atau SO Saptawara. Atas dasar perhitungan tersebut, data penanggalan Prasasti Anjuk Ladang tanggal 12 Krsnapaksa Ha bulan Caitra tahun 859 Saka, bersesuaian dengan 10 April 937 Masehi. (Damais 1955 : 156-158).
3. Peristiwa apakah yang diungkapkan dalam Prasasti Anjuk Ladang dan apakah makna yang terungkap dalam prasasti itu dalam konteks sejarah Nusantara dan sejarah regional Jawa Timur pada awal abad X?
Berikut penafsiran yang pernah dikemukakan oleh pakar epigrafi dan sejarah klasik Indonesia, Pro.Dr.J.G.de Casparis, 34 tahun yang lalu.
".... Pada tahun 928 atau 929 atau satu dua tahun kemudian pasukan Melayu ialah daerah Jambi yang patuh kepada Sriwijaya mendarat di Jawa Timur. Pasukan itu sampai dekat Nganjuk, tetapi disana menderita kekalahan oleh laskar Jawa yang dipimpin oleh Pu Sindok. Peristiwa yang penting itu kita ketahui dari sebuah prasasti Sindok yang berangka tahun 937 (?). Prasasti itu mengenai sebatang tugu kemenangan (Jayastambha) bertempat di Anjuk Ladang, beberapa kilometer sebelah selatan kota Nganjuk yang sekarang. Peristiwa itu dapat menjelaskan dua soal yang sebelumnya tidak mendapat penyelesaian yang memuaskan. Yang pertama mengenai kedudukan Pu Sindok yang oleh penyelidik lebih dulu dianggap sebagai teka-teki. Maklumlah karena nama Sindok sudah kita temui dalam beberapa prasasti sebelum pemerintahannya sebagai seorang pegawai tinggi (Rakai Halu dan Rakai Hino), tetapi tidak lazim di Jawa bahwa seorang prabu digantikan oleh menterinya. Akan tetapi pergantian luasr biasa. Andaikata kita berpendapat bahwa Sindoklah yang menjadi penyelamat negara selaku panglima perang, maka dapat dimengerti bahwa tahta kemudian diserhkan kepadanya."....
" Soal yang lain yang sekarang dapat dimengerti, ialah sebab perpindahan kraton ke Jawa Timur....Sekarang ternyata bahwa pemindahan itu dapat kita pahami sepenuhnya. Dalam taraf pertama raja-raja Mataram lama seperti Balitung sampai dengan Wawa, lebih mementingkan Jawa Timur daripada Jawa Tengah. Karena keinsyafan akan pentingnya perniagaan antarpulau. Dalam taraf yang kedua pemimpin-pemimpin Jawa memutuskan hanya akan membela bagian kerajaan yang dipentingkan itu. Lembah rendah sungai barat dari itu termasuk Jawa Tengah dibiarkan saja" (J.G.Casparis, 1958).
Hipotesa yang menggambarkan Prasasti Anjuk Ladang sebgaai suatu monumen kemenangan terhadap serangan musuh secara langsung tidak didukung oleh prasasti itu sendiri. Apalagi jika dikaitkan dengan jasa Pu Sindok sebagai penyelamat dan panglima perang, yang menjadikan ia dipromosikan sebagai raja. Ketika Sindok memerintahkan untuk menetapkan Watek Anjuk Ladang sebagai desa Swantantra, dalam kalimat : "????.sawah kakatikan iyanjukladang tutugani tanda swatantra", sehingga desa itu bebas dari pajak, ia telah menjadi raja selama 8 tahun. Dengan kata lain jika memang terbukti sima anjuk lading itu ada hubungannya dengan balas budi Sindok kepada penduduk watek Anjuk Ladang, ketika masih memangku jabatan Rakai Mapatih atau rakai Halu atau Hino, prasasti manakah yang memberikan keterangan tentang kemenangan terhadap musuh Sriwijaya itu? Tampaknya prasasti Kinawe dari raja Wawa (926-929) yang berasal dari daerah Berbek tidak memberi dukungan hipotesa tersebut.
Suatu data yang tidak diragukan adalah adanya hubungan antara penetapan swatantra kepada kepala desa (Rama) di Anjuk Ladang itu, dengan sebuah bangunan suci seorang tokoh yang cukup penting yaitu : bhatara I sang hyang prasada kabaktyan I dharma sngat pu anjukladang atau sangat anjuk lading. Bangunan suci itu juga disebut : sang prasada kabaktyan I sri jayamarta?.. Sima pumpunana bhatara (baris 6 dan 8). Sedangkan bangunan tugu kemenangan terdapat dalam kalimat : "sang hyang prasada ateherang jayastama." (14).
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa nama desa Anjuk Ladang berkaitan dengan pejabat Watek, Rama dan Samgat, serta bangunan suci Sri Jayamrata, barangkali sebuah Patirtan yang terletak tidak jauhdari Candi Lor sekarang. Ataukah bangunan yang disebut "sang hyang prasada kabaktyan I dharma samgat pu anjukladang" itu, pada abad X tidak lain Candi Lor sekarang. Di tempat candi itu berdiri terletak desa Candirejo, di situlah tahun 1913, ditemukan sejumlah patung perunggu yang menggambarkan pantheon Budhisme Mahayana, dari sekte yang khas mengungkapkan tradisi kerajaan setempat. (ROD 1913:59 gambar nomor : XII-XXIII). Penemuan arkeologis di sekitar desa Candirejo tempat Candi Lor itu berdiri, membuktikan bahwa di tempat itulah pada abad X merupakan Watek Anjuk Ladang, tempat berdirin a bangunan suci sang hyang prasada kabaktyan I anjukladang, yang tertulis dalam baris 27 prasasti Candi Lor itu. Nama itu hidup terus sejak 10 abad lalu dan dalam perjalanan sejarah tetap lestari meskipun dalam ucapan yang telah berubah.
HARI JADI NGANJUK : 10 APRIL 937
Dari kajian yang etrurai pada bagian muka, berikut ini diberikan beberapa tesis yang sekaligus merupakan kesimpulan untuk dijadikan landasan berpijak dalam penentuan Hari Jadi Nganjuk.
1. Ada tiga sumber epigrafis yang ditemukan didaerah Kabupaten Nganjuk sekarang, yaitu : Prasasti Kinawe dari Tanjung Kalang, Prasasti Hering dari Kujon Manis, Warujayeng dan Prasasti Anjukladang dari desa Candirejo.
Prasasti Kinawe merupakan sumber tertulis paling tua yang ditemukan di daerah Kabupaten Nganjuk, yang memuat nama Sri Maharaja Wawa. Prasasti ini diumumkan bertepatan dengan tahun Masehi, hari Kamis Wage, bulan November 928. Walaupun prasasti ini termasuk sumber tertulis paling tua yang dikeluarkan oleh ibunya Dyah Bingah, tidak memuat data yang dapat dihubungkan dengan sejarah pemerintah Kabupaten Nganjuk secara langsung. Didalamnya memuat pembebasan Desa Kinawe dari pungutan pajak, serta mendapat hak sebagai desa Sima. Didalamnya juga memuat nama Pu Sindok Sri Isana Wikrama sebagai rakryan Mapatih, pada masa pemerintahan Sri Maharaja Wawa. Prasasti ini tidak mengungkapkan peranan Pu Sindok, sebagai panglima diisyaratkan dalam hipotesa Prof.J.G.de Casparis (de Casparis, 1958). Atas dasar kenyataan itu prasasti ini tidak dapat dijadikan landasan yang kuat untuk dipilih sebagai hari jadi Kabupaten Nganjuk.
2. Prasasti Hering, dari Kujon Manis daerah Warujayeng, Nganjuk timur. Prasasti ini dikeluarkan pada hari Kamis Wage, 22 Mei 934, oleh Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa, berisi antara lain tentang jual beli tanah sawah.
Dalam sumber tertulis inipun tidak menyebutkan toponimi yang secara langsung dapat dikaitkan dengan nama Nganjuk, baik sebagai nama wilayah maupun nama pusat pemerintahan yang berhubungan dengan Kabupaten Nganjuk sekarang. Nama Hering, Marganung, Kadangan, Hujung, walaupun nama tersebut mungkin sama dengan keringan, Ganung , Kandangan dan Ngujung, namun kurang memenuhi criteria sebagai sumber untuk dijadikan dasar penemuan Hari Jadi Nganjuk.
3. Prasasti Anjuk Ladang, dari kompleks reruntuhan Candi Lor, desa Candirejo, merupakan sumber tertulis tertua yang memuat toponimi Anjukladang sebagai satuan territorial Watek, yang dikepalai seorang Samgat dan seorang Rama. Prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Maharaja Pu Sindok Isanawikrama Dharmmotunggadewa, serta nama para pejabat tinggi kraton maupun pejabat daerah. Prasasti ini memuat desa Anjukladang yang dianugerahi status otonomi atau swantantra serta daerah yang Anjukladang sebagai perdikan, dikaitkan dengan pemeliharaan bangunan suci bernama: Sang Hyang Prasada Kabaktyan I Sri? Jamrata I Anjuk Ladang. Disamping itu juga dikaitkan dengan suatu monumen kemenangan, berupa Jayastamba.
Prasasti Candi Lor ini dibandingkan dengan prasasti Kinawe dan Hering, lebih memiliki nilai histories dan arkeologis, karena memuat nama desa Anjukladang, yang dalam perkembangan sejarah di daerah itu selama 10 abad masih tetap bertahan, walaupun telah mengalami perubahan ucapan. Namun tidak dapat disangkal, bahwa ada kedekatan yang menunjukkan kedekatan ucapan dengan nama Nganjuk.
Berdasarkan data epigrafis itu, tahun penetapan anugrah watek Anjukladang, sebagai desa swatantra dapat dipilih untuk Hari Jadi Nganjuk. Menurut unsure penanggalannya, maka tanggal 12 bulan Citra, Krsnapaksa. HA PO SO, bertepatan dengan tahun Masehi: 10 April 937. Itulah tanggal yang sesuai dan layak sebagai Hari Jadi Nganjuk.
Please No Spam and junk, we will remove it !!