Monday, March 22, 2010

Kematian Tan Malaka di Lereng Gunung Wilis


Kisah tentang Tan Malaka tak pernah usai. Misteri kematian Pahlawan Nasional ini baru terungkap setelah setengah abad berlalu. Dengan ketekunan luar biasa, Harry A Poeze, sejarawan Belanda, menyusun buku tentang tokoh ini. Jika sewaktu-waktu Presiden Ir Soekarno (Bung Karno) mengalami bahaya dan tidak dapat menunaikan tugas, harus ada penggantinya. Dan, tokoh yang dipilih Bung Karno adalah Tan Malaka. Tan Malaka sempat lolos dari tahanan bersama 50 gerilyawan anti-Belanda yang dipimpinnya. Namun, dia yang berpisah dan bergerak dalam rombongan kecil, ditangkap Letnan Dua Soekotjo di Desa Selo Panggung, lereng Gunung Wilis, Jawa Timur, yang berakhir dengan eksekusi.

Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya yang terakhir berpangkat Brigadir Jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya.
Data tersebut diperoleh dari kesaksian pelbagai pihak seperti rekan gerilya Tan Malaka, anggota Batalyon Sikatan, keterangan warga desa dan tokoh-tokoh angkatan 1945,” kata Harry A Poeze yang memulai riset Tan Malaka sejak tahun 1980. Poeze yang ditemui di Jakarta, Jumat (27/7), menjelaskan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949. Tokoh yang perjalanannya ditulis Poeze, akan diluncurkan Senin (30/7) di Jakarta, dalam edisi Bahasa Indonesia. Buku ini akan beredar dalam enam jilid yang terbit selama enam tahun. Tan Malaka atau Sutan Ibrahim bergelar Datuk Tan Malaka lahir 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Saat datang ke Semarang, dia menjadi akrab dengan Semaun yang sepikiran untuk membentuk
generasi baru lewat pendidikan di sekolah. Langkah Tan Malaka digagalkan pemerintah Hindia Belanda dengan membuangnya ke Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1922, setelah aktivitasnya di PKI menguat. Dalam sebuah diskusi tentang sosok ini tujuh tahun lalu, Hadidjojo Nitimihardjo (Ketua Umum Partai Murba), Alex Paath (Sekjen Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia '66), dan Burhan Magenda (anggota DPR RI, saat itu) sepakat menyebut Tan Malaka sebagai salah satu pemikir dan pejuang besar Indonesia. Sebagai pejuang angkatan 1920-an, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, adalah para pemikir yang mendalami ideologi-ideologi besar dunia, sehingga terlalu sempit untuk mengatakan Tan Malaka adalah seorang Marxis. Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam Madilog (materialisme, dialektika, logika), melukiskan bagaimana dia menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran- pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.

Tokoh penuh pemikiran ini ditangkap dan dijebloskan penjara pada 1946. Tetapi setelah peristiwa Madiun 1948, dia
dikeluarkan begitu saja. Tak menunggu lama Tan Malaka kemudian merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Jogjakarta. Tetapi Februari 1949 dia menghilang. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Harry Poeze yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) menambahkan, eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda ke-2 itu didasari surat perintah Pangdam Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Soerahmat. Seruan Tan Malaka yang menilai penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta enggannya elite militer bergerilya dianggap membahayakan stabilitas. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah tokoh Tan Malaka, namun dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi konkret menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan. Menurut Poeze, Menteri Sosial Republik Indonesia sudah setuju untuk mengerahkan tim forensik mencari sisa jenazah Tan Malaka. Tan Malaka sempat dijuluki Bapak Repoebliek Indonesia selepas pertengahan 1920-an karena menerbitkan buku Naar Repoebliek Indonesia (Menuju Repoebliek Indonesia) dalam Bahasa Belanda dan Melayu tahun 1924 di Kanton (sekarang Guang Zhou), Tiongkok. Putra pertama almarhum R Soekotjo, Wahyono, ketika dikonfirmasi tentang pernyataan sejarawan Belanda Harry A Poeze ini mengaku belum bisa berkomentar. Ia masih akan mengumpulkan cerita tentang perjalanannya orangtuanya selama menjadi anggota TNI. “Untuk sementara saya belum bisa cerita,” katanya. jho/kcm

Please No Spam and junk, we will remove it !!