Monday, March 22, 2010

Wayang Krucil Nganjuk Asing Di Daerah, Dikenal Di Jerman (KENAPA???)


SENI tradisi Wayang Krucil di Nganjuk mempunyai nilai-nilai budaya yang tinggi. Kesenian ini tak hanya mengangkat cerita-cerita sejarah, tetapi juga memuat aspek moral dan etika. Sekaligus berperan sebagai media hiburan rakyat.

Di Nganjuk, Wayang Krucil pernah menjadi tontonan yang populer, bersaing dengan wayang purwa. Namun, saat jenis hiburan lain yang lebih modern menjamur, Wayang Krucil semakin tergusur.

Sekarang pementasan-pementasan Wayang Krucil semakin sulit dijumpai. Kecuali, dalam acara-acara ritual yang berkait dengan bersih desa dan nadar. Padahal, kesenian ini masih banyak dijumpai hingga masa 1960-an.

Pada puncak kejayaannya, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah (desa dan kecamatan) di Nganjuk, bahkan sampai di kawasan Kabupaten Kediri.

Namun, saat ini tinggal tersisa beberapa saja. Salah satunya, Wayang Krucil milik Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu Kecamatan Baron, sekitar 15 kilometer sebelah timur Kota Nganjuk.

Boleh jadi, Wayang Krucil yang ada di desa itu menjadi satu-satunya di Nganjuk atau Jawa Timur. Sedangkan di desa lainnya sudah punah dan tak memiliki pewaris lagi.

Wayang Krucil satu-satunya yang tertinggal di Nganjuk itu dikenal sebagai Wayang Krucil Garu, karena tinggal dan berkembang di Desa Garu.

Pelaku seni tradisi atau dalang Wayang Krucil Garu ini tinggal seorang, yaitu Ki Sudiono, yang merupakan dalang Wayang Krucil turun-temurun.

Ayahnya, Joyo Untung, adalah seorang dalang Wayang Krucil di Nganjuk yang populer dengan sebutan dalang Purwocarito. Sedang kakeknya, Sastrorejo, populer dengan sebutan dalang Kondo Suwarno.

Selain sebagai seorang dalang, Ki Sudiono juga seorang perajin Wayang Krucil. Sebagian menjadi koleksi pribadi dan sebagian menjadi pesanan turis-turis Eropa.

Di desa ini, Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan desa sehingga berlangsung turun-temurun, dianggap sakral, sehingga harus selalu dipentaskan dalam upacara bersih desa setahun sekali. Kesakralan dan malati Wayang Krucil Garu terwujud dalam bentuk pagelaran yang harus disertai sesajen khusus.

Wayang Krucil dibuat dari kayu Mentaos berbentuk pipih. Mula-mula, kayu dipotong dan dibuat papan agak tebal. Setelah itu, papan kayu diberi gambar, diukir dan diberi cat sesuai tokoh wayang yang akan dibuat. "Kayu Mentaos memiliki serat halus, kalau dibuat wayang hasilnya bagus. Namun, kayu ini sekarang susah didapat," ujar Ki Sudiono.

Meskipun bentuknya pipih, Wayang Krucil berbeda dengan Wayang Kulit. Pada Wayang Krucil, memiliki ketebalan 2 -3 Centimeter, sedang Wayang Kulit sekitar 3 milimeter. Boleh dikatakan, bentuk Wayang Krucil mengarah tiga demensi. Karena itu, karakter tokoh-tokoh pada Wayang Krucil terkesan lebih bernyawa dibanding Wayang Kulit.


"Saya sendiri heran, setelah jadi wayang kok jadi hidup. Sama-sama tokoh Bratasena, pada Wayang Krucil terlihat kokoh dan bernyawa," imbuh Ki Sudiono.

Perbedaan lainnya, Wayang Kulit (purwa), satu wayang mewakili satu tokoh atau satu karakter dan memiliki satu nama. Sedang, pada Wayang Krucil Sri Guwak ini satu wayang bisa berganti-ganti memerankan beberapa tokoh dan karakter.

Tokoh Baladewa dapat digunakan ketika sang dalang mengambil sumber cerita Mahabarata. Tetapi, ketika mengangkat cerita Menak, tokoh ini digunakan sebagai figur Prabu Rusmantono, Raja Sindukaas. Sedang Bima (Bratasena) menjadi tokoh Raja Lamdaur Alam dari Kerajaan Srandil.

Wayang Krucil Garu Nganjuk juga berbeda dengan Wayang Golek atau Wayang Tengul. Wayang Golek berbentuk boneka, sedang Wayang Krucil pipih. Untuk mementaskan kesenian itu, diringi perangkat gamelan Mardi Laras dengan 20-an pemusik (penabuh) dan 5 pesinden (penyanyi).

Cerita Wayang Garu Nganjuk mengambil beberapa sumber, diantaranya, cerita yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri. Seperti, kisah Panji Semirang Asmara Bangun, Candra Kirana, Panji Asmaratanka, Candra Kirana Mbarang Jantur.

Juga, mengambil sumber cerita rakyat tentang pemberontakan kepada Belanda. Seperti, kisah perlawanan Untung Surapati, Diponegoro, Trunojoyo. Atau, cerita-cerita seputar Walisongo dan pendirian Kerajaan Islam Demak.

Ada juga cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia. Cerita ini berkaitan dengan prkembangan agama Islam, seperti pada cerita Umarmaya, Umarmadi, Amir Hamzah. Namun, nama-nama tokohnya sudah diadaptasi.
Bahkan, dalang juga bisa mengambil sumber cerita dari Mahabarata. Selain itu, dalang juga membuat cerita sendiri atau dikenal sebagai lakon carangan.

Kondisi Wayang Krucil Garu Nganjuk kini dalam keadaan yang menyedihkan. Tak banyak yang peduli, kecuali segelintir seniman. Bahkan, pemerintah daerah setempat pun tak banyak berbuat. Inilah yang menjadi kekhawatiran Ki Sudiono.

Ki Sudiono mengaku, setiap tahun rata-rata hanya bisa tampil 4 kali. Biasanya, untuk memeriahkan kegiatan bersih desa. Di Desa Garu sendiri, acara seperti ini rutin dilakukan setiap tahun sekali.

Meskipun demikian, Ki Sudiono bertekad untuk tetap melestarikan kesenian ini. Selama ini, dirinya lebih banyak meluangkan waktunya untuk membuat wayang. Yang membanggakan bagi Ki Sudiono, adalah Wayang Krucil Nganjuk sudah dikenal sampai di Jerman.

Dalam waktu satu minggu, Ki Sudiono bisa menyelesaikan satu wayang. Ia hanya membuat apabila ada pesanan. Untuk pasar lokal, satu wayang dijual sekitar Rp700 ribu. Sedang pemesan luar negeri, diatas satu juta rupiah.palopo abdurahman

Please No Spam and junk, we will remove it !!