Saturday, March 6, 2010

Penggembala

Rasanya tidak masuk akal kalau Nabi saw. hanya sekadar ingin mendedahkan kesederhanaannya dengan menceritakan bahwa ia pernah bekerja sebagai penggembala pada juragan-juragan ternak di Mekkah. Tentu ada sesuatu yang lebih mendasar di balik kisahnya itu, sebab ia pernah mengatakan : "Kalian adalah penggembala. Dan kalian akan ditanya mengenai gembalaannya masing-masing."

Apalagi jika ditelusuri, ternyata memang benar para nabi lainnya juga pernah menjadi penggembala sebagaimana dikemukakan dalam salah satu hadisnya: "Tidak ada seorang nabi pun melainkan tadinya ia menggembala domba." Yang sering dipertanyakan orang ialah mengapa dan apa pula hikmahnya. Adakah hubungan antara menggembala domba dengan tugas kenabian?

Secara langsung sebetulnya tldak ada. Namun, bagi orang-orang arif, termasuk para nabi, menggembala domba atau binatang ternak lainnya merupakan pekeraan yang menuntut kesabaran, kepedulian, dan kelemah-lembutan karena kita tahu, semua hewan ternak adalah ienis makhluk jinak yang tldak mempunyai se- barang kekuatan untuk mengindari ancaman binatang buas. Mereka sangat memerlukan perlindungan dan bimbingan karena keadaan mereka terlalu lemah dibandingkan dengan harimau dan serigala.

Namun, di samping ketidakberdayaan mereka, binatang ternak itu sangat bermanfaat bagi manusia tidak hanya daging dan kulitnya, tetapi juga air susunya kadang-kadang mampu menggantikan peranan kaum ibu yang tidak sempat mengasuh anaknya. Begitu ikhlas perangai binatang ternak itu meskipun mereka tahu, akhirnya akan menjadi santapan di meja makan.

Demikian pula nasib orang-orang kecil. Mereka adalah domba-domba yang menyerahkan nasibnya kepada para penggembala. Dengan patuh mereka dikeluarkan dari kandang tiap pagi, dan digiring kembali ke dalam kandang bila hari menjelang malam. Diberi makan apa saja mereka tidak membangkang asalkan bisa mengenyangkan perutnya. Mereka tidak berdaya menentukan nasibnya sendiri. Walaupun ada juga yang meronta ketika diseret ke pejagalan, toh kemudian mereka harus mati di tangan algojo.

Itulah yang terpikir di benak Nabi ketika menjadi penggembala sebelum masa kerasulannya. Untuk itu, selaku pemimpin ia wajib bertindak adil dan bijaksana agar selama masih mempunyai kesempatan, umat yang menjadi tanggung jawabnya dapat menikmati kebahagiaan di bawah kepemimpinannya.

Alangkah malangnya nasib orang-orang kecil itu andaikata mendapat penggembala yang tidak melindungi dan mengayomi. Kehidupan mereka akan terus-menerus sengsara. Ketakutan dan kegelisahan akan selalu menimpa sampai akhir hayatnya. Patutlah mereka sudah dikalahkan sebelum harus kalah oleh kematian?

Karenanya, dengan prihatin Rasulullah bersabda: "Semestinya seorang penggembala melindungi dombanya dari ancaman serigala. Namun, bagaimana pula nasib sang domba, bila penggembalanya sendiri adalah serigala?"

Dalam kitab Azhamatur-Rasul, Muhammad Athiyah al-Ibrasyi menulis bahwa keprihatinan Nabi tersebut makin menggumpal dari waktu ke waktu lantaran menyaksikan kebobrokan dunia di sekitarnya. Para pemimpin berkomplot dengan hakim dan pemuka-pemuka agama untuk menindas rakyat jelata. Mereka selalu membela dan memenangkan orang-orang kaya sehingga dalam dunia seperti itu, yang bersitegar hanyalah ketakutan, ketidakberdayaan, dan penderitaan. Akibatnya, rakyat tidak mampu mengembangkan nalarnya sebab hari-hari mereka disita oleh daya upaya untuk sekadar bisa hidup seadanya. Mereka tidak mempunyai masa depan karena hari ini pun bukan milik mereka.

Timbullah kemasabodohan dan keputusasaan. Dan dalam keadaan semacam itu, mana mungkin suara-suara dapat didengar? Lantaran yang disebut kebenaran sudah dipola oleh penguasa dan harus ditelan mentah-mentah tanpa kesempatan untuk menentukan pilhan. Jangankan mematuhi norma-norma moral dan agama sebagai pegangan rohani, sedangkan rezeki pun sudah dijatah dan tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan jasmani. Apalagi mereka yang berlindung di balik bendera keadilan dan agama, yang menamakan dirinya pemimpin dan panutan, sudah menjadikan kedudukan mereka sebagai lahan untuk menuai keuntungan pribadi.

Itulah yang dikenal dengan Zaman Jahiliyah. Dan tetap akan bermama jahiliyah sampai kapan pun bila keadaannya tidak berbeda. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Siapa yang lemah, terimalah nasibmu, dan jangan coba-coba meronta sebab belenggumu akan lebih ketat merantaimu.

"Bukan kami yang tidak berperi kemanusiaan." ujar orang-orang besar itu dengan pongah. "Uratan takdirmu yang salah. Mengapa kalian tidak dilahirkan dalam istana orang-orang terhormat?" Maka ukuran kehormatan pun bukan lagi berada pada martabat kepribadian seseorang, melainkan pada keningratan nenek-moyang. Kalau sudah begitu, jalan mana lagi yang harus ditempuh kecuali melakukan revolusi kemanusiaan secara total seperti yang dilakukan oleh Nabi saw, yaitu perubahan besar-besaran yang harus dilaksanakan sendiri oleh para penggembala yang baik.

Please No Spam and junk, we will remove it !!